"Meski masih wacana dan mungkin untuk memacu para calon rektor untuk menyamai prestasi rektor luar negeri, pernyataan tersebut sangat disayangkan," kata Hikmahanto (22/7/2019).
Hikmahanto menambahkan, wacana tersebut bakal terbentur dengan aturan-aturan yang ada, misalnya dalam hal status kewarganegaraan dan penyetaraan ijazah (rektor asing).
"Salah satu syarat adalah harus berkewarganegaraan Indonesia. Syarat lain adalah ijazah yang didapat dari luar negeri pun harus disetarakan oleh Kemenristekdikti," tambah Hikmahanto.Â
Memperjelas apa yang disampaikan Hikmahanto, mahasiswa Indonesia lulusan luar negeri saja jika pulang ke tanah air untuk mengabdi (bekerja atau mengajar) ijazahnya harus disetarakan terlebih dahulu sesuai aturan Kemenristekdikti.
Selanjutnya bagaimana dengan status kewarganegaraan, apakah rektor asing yang diimpor mau menjadi warga negara Indonesia sepenuhnya? Jika tidak, berapa lama waktu yang diberikan kepadanya untuk mengabdi? Statusnya apa, pekerja asing?
Seharusnya ketika berkeinginan mengimpor orang asing menjadi rektor, Kemenristekdikti mengingat kembali kisah dua orang anak bangsa yang punya pengalaman buruk ditolak negaranya sendiri hanya gara-gara terkendala berkas kependudukan, yaitu mantan Paskibraka Gloria Natapradja Hamel dan Wakil Menteri (sebelumnya pernah jadi menteri) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar.
Pada 2016 silam Gloria batal menjadi Paskibraka karena masalah kepemilikan paspor Perancis. Diketahui ibunya asli WNI sedangkan ayahnya warga negara Perancis. Padahal dia telah melewati proses seleksi dan latihan ketat sejak dari tingkat kabupaten/kota mewakili Provinsi Jawa Barat.
Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas PTN kita daripada mengimpor orang asing. Indonesia tidaklah kekurangan anak-anak terbaiknya.
***