Ketiga, di bawah kepemimpinan rektor asing, PTN Indonesia akan mudah menjalin kolaborasi dan kerjasama dengan universitas berkualitas luar negeri. Sehingga target meraih posisi 200, 150 atau 100 tingkat dunia bisa terwujud.
"(Kita nanti tantang calon rektor luar negerinya) kamu bisa tidak tingkatkan ranking perguruan tinggi ini menjadi 200 besar dunia. Setelah itu tercapai, berikutnya 150 besar dunia. Setelah ini 100 besar dunia. Harus seperti itu," jelas Nasir.
Pertanyaannya, bukankah sebagian PTN Indonesia sudah diakui dunia meski masih level Asia, antara lain Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Institut Teknologi Bandung (ITB)?
Bukankah pula sebagian PTN dan PTS Indonesia ada yang sudah menjalin kerjasama dengan universitas di luar negeri, misalnya dalam hal pertukaran pelajar dan dosen tamu?
Mengapa harus mendatangkan rektor asing? Apakah yang dimaksud adalah rektor universitas luar negeri yang sedang menjabat atau murni dosen biasa yang "dikarbit"?
Kalau mau, jangan tanggung-tanggung. Sekalian saja rektor Universitas Harvard atau Universitas Cambridge. Tapi sepertinya yang akan direkrut itu adalah dosen biasa.
Apa pun yang sedang dipikirkan Nasir tentu tujuannya baik. Namun belakangan menuai pro-kontra. Yang pro pasti mereka yang spontan terpesona, sedangkan yang kontra adalah mereka yang mempertimbangkan banyak aspek.
Misalnya pernyataan kontra itu berasal dari anggota DPR RI Fahri Hamzah dan Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana.
Fahri Hamzah menyebutkan wacana impor rektor akan membuat masyarakat Indonesia berkecil hati. Seolah-olah kalau bukan di bawah kepemimpinan asing, PTN Indonesia tidak mungkin maju.
"Jangan bikin kecil hati bangsa Indonesia. Kita sanggup kok. Seolah-olah kalau semua dilepas ke orang asing semua jadi beres. Ya enggak juga. Harusnya malu dia sebagai menteri, enggak sanggup memodernisasi kampus. Bukan malah sedikit-sedikit cari rektor asing," tutur Fahri (31/7/2019).
Senada dengan ucapan Fahri, Hikmahanto mengatakan wacana impor rektor kontraproduktif dengan dengan misi Presiden Jokowi memajukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam negeri.Â