Akan tetapi jika yang terjadi kemungkinan lainnya yaitu menolak, maka alasannya beragam. Misalnya karena faktor "gengsi", sulit untuk "move on", mau kembali ke profesi awal sebagai pengusaha, dan sebagainya.
Kedua, peluang Sandiaga digandeng Jokowi-Ma'ruf Amin. Sepertinya peluangnya cukup kecil, bahkan mustahil. Mengapa?
Pada paragraf awal tulisan ini telah diuraikan bahwa koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin akan bertambah 'gemuk' bila Demokrat dan PAN turut bergabung. Sedangkan setidaknya sudah ada sembilan partai yang kian bergabung sejak awal.Â
Jokowi-Ma'ruf Amin pasti mendahulukan kader-kader potensial partai pendukung semasa perhelatan Pilpres 2019. Diperkirakan masing-masing partai pendukung bakal diberi jatah dua atau lebih kursi menteri. Selebihnya akan diberikan kepada Demokrat dan PAN.
Sila hitung sudah berapa kursi yang terisi, padahal porsi kementerian terbatas. Belum lagi jatah buat kalangan profesional (non partai), baik mereka yang sedang menjabat di kabinet maupun yang masih sibuk di bidangnya masing-masing.
Baca: Jabatan Wagub DKI Jakarta Lama Lowong, Mungkinkah Akan Diisi Kembali Sandiaga?
Di samping pertimbangan jatah buat partai pendukung dan kalangan profesional, Jokowi-Ma'ruf Amin pasti akan berpikir ratusan kali sebelum menggandeng Sandiaga. Dibanding kader Demokrat dan PAN, Sandiaga rasanya sulit dinominasikan. Diperlukan musyawarah tingkat tinggi antara Jokowi-Ma'ruf Amin dengan partai-partai pendukung.
Baca: Jika Posisi Wagub DKI Sengaja "Diamankan", Mestinya PKS Berhenti Berharap
Partai-partai pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin pasti tidak berkenan Sandiaga masuk kabinet. Penghambatnya adalah Sandiaga merupakan rival, bukan kader partai pendukung (kecuali kalau Sandiaga masuk Gerindra lagi dan kemudian partai tersebut memutuskan ikut bergabung koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin), ada sekat (perbedaan) ideologi, belum teruji kinerjanya di birokrasi pemerintahan (beberapa bulan saja jadi wakil gubernur), dan seterusnya.
***