Sidang sengketa Pilpres 2019 sudah keempat kalinya digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana dilaksanakan pada Jumat, 14 Juni 2019 dengan agenda mendengarkan uraian permohonan (gugatan dan tuntutan) kubu Prabowo-Sandi sebagai pemohon.
Sidang kedua dilaksanakan pada Selasa, 18 Juni 2019 dengan agenda mendengarkan tanggapan pihak termohon (KPU), pihak terkait (kubu Jokowi-Ma'ruf Amin) dan Bawaslu.
Sidang ketiga dilaksanakan pada Rabu, 19 Juni 2019 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi (fakta dan ahli) kubu Prabowo-Sandi beserta gelar bukti, dan sidang keempat dilaksanakan Kamis, 20 Juni 2019 dengan agenda mendengarkan saksi (fakta dan ahli) pihak termohon.
Masih akan ada sidang-sidang berikutnya, dan segala pertimbangan, penilaian dan keputusan berada di tangan majelis hakim. Kita berharap suasana kondusif di tanah air tetap terjaga.
Sebagian publik mungkin tahu bahwa minimal ada tiga tuntutan pokok kubu Prabowo-Sandi untuk dikabulkan majelis hakim, yaitu diskualifikasi pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dan perintah majelis hakim kepada KPU untuk menetapkan pasangan Prabowo-Sandi sebagai pemenang Pilpres 2019, atau meminta KPU mengadakan pemungutan suara ulang (PSU).
Baca: Sajian Bukti dan Keterangan Saksi, Andalan Terakhir Tim Prabowo-Sandi
Kubu Prabowo-Sandi menuntut demikian karena mereka mengaku telah menemukan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), di mana bertentangan dengan asas Pemilu yang LUBER (langsung, umum, bebas, rahasia), jujur dan adil. Proses pelaksanaan Pilpres 2019 dinilai penuh pelanggaran dan hasilnya ditetapkan dengan cara-cara yang tidak benar. Selain itu, mereka juga menyebut ada penyalahgunaan kekuasaan oleh Joko Widodo sebagai calon presiden (capres) petahana.
Oleh karena itu, kubu Prabowo-Sandi juga meminta hasil perolehan suara berdasarkan penghitungan internal mereka diakui sah oleh majelis hakim. Hasilnya adalah untuk pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin sebesar 48 persen (63.573.169 suara) dan untuk pasangan Prabowo-Sandi sebesar 52 persen (68.650.239 suara).
Namun yang menjadi soal adalah ketika tuntutan tersebut tidak berdasarkan pada fakta dan bukti yang kuat. Dan kiranya hal itu belum ditemukan jelas hingga saat ini. Dugaan kecurangan dan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan belum terkonfirmasi.
Baiklah bahwa terkait adanya kecurangan dan penyalahgunaan kekuasaan akan dinilai sendiri majelis hakim. Akan tetapi ada satu hal yang publik dan barangkali majelis hakim belum paham yaitu tentang bagaimana kubu Prabowo-Sandi memperoleh suara sebesar 52 persen.Â
Apakah maksudnya temuan DPT invalid sejumlah 17,5 juta yang membuat perolehan suara Jokowi-Ma'ruf Amin lebih tinggi? Jika betul DPT invalid tersebut nyata digunakan pada saat pemungutan suara, apakah tidak ada satu pun yang masuk ke suara Prabowo-Sandi?
Lalu bagaimana pula dengan jumlah suara Jokowi-Ma'ruf Amin yang sebanyak 4.534.193 (85.607.362 dikurang 17.500.000), itu kira-kira diperoleh dari mana dan dengan cara apa? Karena kalau dilihat dari hasil penghitungan internal kubu Prabowo-Sandi, perolehan suara Jokowi-Ma'ruf Amin berkurang sebanyak 22.034.193.
Mungkinkah kubu Prabowo-Sandi mampu membuktikannya? Harusnya pembuktian tersebut bisa dilakukan pada sidang ketiga, yaitu pada saat gelar bukti dan mendengarkan keterangan para saksi. Apa yang terjadi pada persidangan ketiga? Sila baca ini [1] dan [2]
Tapi sudahlah. Mungkin akan ada kesempatan lain lagi dari majelis buat kubu Prabowo-Sandi untuk membuktikannya.
Salam demokrasi!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H