Tim Kuasa Hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga disebut akan menghadirkan sebanyak 30 orang saksi untuk membongkar bukti kecurangan dalam Pilpres 2019. Puluhan saksi tersebut diharapkan mendapat perlindungan maksimal dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), sehingga kubu Prabowo-Sandiaga pun mengajukan permohonan dengan mendatangi LPSK.
"Mereka (saksi) yang berasal dari sejumlah daerah di Tanah Air ini meminta jaminan keselamatan sebelum, saat, dan sesudah datang ke (MK) Jakarta untuk bersaksi," kata Andre Rosiade, Juru Bicara BPN (16/6/2019).
Namun karena alasan benturan undang-undang (UU), LPSK menyatakan tidak bisa melakukan itu. LPSK meminta agar BPN mencari alternatif lain, entah mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) supaya LPSK diberi perintah khusus untuk itu atau dengan cara komunikasi jarak jauh melalui teleconference.
Pihak BPN sedang mengupayakan hal itu. Mereka berharap para saksi dan ahli yang dihadirkan dapat memberikan keterangan tanpa diintervensi apalagi ditekan oleh pihak mana pun. Mudah-mudahan ikhtiar mereka terwujud.
Mendengar permintaan BPN, ternyata Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin memberi tanggapan. TKN berpendapat bahwa BPN tidak perlu berandai-andai seolah-olah saksi mereka akan mendapat ancaman. TKN sebagai pihak terkait merasa dicurigai.
"Tidak perlu mereka bicara soal perlindungan saksi seakan-akan kami akan melakukan sesuatu terhadap saksi mereka," kata Ace Hasan Syadzily, Juru Bicara TKN (16/6/2019).
Ace meminta BPN tidak perlu mengumbar kekhawatiran berlebihan karena memang sudah ada pihak keamanan yang akan memberi jaminan perlindungan. Ace justru mempertanyakan BPN terkait jenis ancaman apa yang mungkin dialami para saksi pada sidang nanti. Ace memastikan TKN tidak akan mengancam para saksi dari BPN.
Hal yang diragukan Ace kepada BPN yakni apakah para saksi yang disiapkan betul-betul berkapasitas atau tidak. Keraguan Ace ini didasarkan pada pengalaman kasus yang pernah menjerat Ketua Tim Hukum BPN, Bambang Widjojanto (BW).Â
BW diketahui sempat dijadikan tersangka oleh Bareskrim Polri karena diduga menyuruh saksi memberikan keterangan palsu di MK terkait sengketa Pilkada di Kotawaringin Barat pada 2010 yang lalu. Namun kemudian pada 2016 pihak Kejaksaan Agung "mendeponir" atau mengesampingkan kasus BW, dinyatakan berakhir tanpa proses ke pengadilan.
Publik tentu tahu mengapa akhirnya Kejaksaan Agung mengambil langkah seperti itu. Sekadar informasi, saat dijadikan tersangka, BW berstatus sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Apakah karena statusnya di KPK atau faktor lain, hingga sekarang belum jelas.
"Jangan menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Masyarakat sudah tahu rekam jejak masing-masing tim hukum. Memang selama ini siapa yang memiliki pengalaman dan rekam jejak pernah menghadirkan saksi palsu?," ungkit Ace (16/6/2019).
Adakah di antara pembaca yang punya keraguan yang sama ke BW? Apakah kali ini dia tidak akan tersangkut kasus serupa yang di Kotawaringin Barat? Mungkinkah para saksi yang dia dan tim hadirkan di persidangan sengketa Pilpres 2019 sungguh berkapasitas?
Mestinya BW belajar dari pengalaman masa lalunya. BW harus berhati-hati, barangkali tidak lagi dalam hal pengaruh untuk memberi keterangan palsu, namun menyangkut kelayakan dan kesiapan para saksi. Kredibilitas BW kembali diuji, dan yang menguji bukan majelis hakim, tapi para saksinya sendiri.
***
Referensi: kompas.com [1] [2] [3]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H