Kurang lebih dua minggu lagi Pilpres 2019 akan digelar, namun posisi wakil gubernur DKI Jakarta sampai saat ini dalam status lowong. Lowongnya jabatan penting ini telah berlangsung hampir delapan bulan, sejak Agustus 2018 lalu ketika mantan Wakil Gubernur Sandiaga Uno mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Proses seleksi terhadap calon pendamping Gubernur Anies Baswedan tersebut sudah beberapa kali digelar, dan terakhir menyeruak dua nama yakni Agung Yulianto dan Ahmad Syaikhu, di mana keduanya merupakan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sesuai kesepakatan, kursi kosong orang nomor dua di ibukota ini akan diserahkan kepada PKS, hasil keputusan tawar-menawar politik bersama Partai Gerindra.
Menurut informasi, berkas Agung Yulianto dan Ahmad Syaikhu sudah berada di meja Anies dan pimpinan DPRD DKI Jakarta. Akan tetapi, proses penentuan siapa yang bakal dipilih di antara dua nama tak kunjung dilakukan. Bahkan Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetio Edi Marsudi mengatakan bahwa beliau dan jajarannya kemungkinan baru akan menindaklanjutinya usai Pemilu 2019.
"Tahapannya masih panjang. Sekarang kan tahun politik, keganggu semua. Ada yang kampanye, kami kan maju (nyaleg) lagi," ungkap Prasetio.
Seolah menyerahkan penuh kepada DPRD DKI Jakarta, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dalam hal ini Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dan Gubernur Anies tidak berbuat banyak. Mereka tidak mendesak para anggota DPRD DKI Jakarta untuk segera rapat memutuskan siapa yang dipilih, apakah Agung Yulianto atau Ahmad Syaikhu.
Jika ditanya, warga ibukota sesungguhnya sangat tidak rela kursi wakil gubernur dibiarkan lowong, dengan alasan apa pun, termasuk kesibukan di tahun politik. Warga ingin dilayani maksimal dan tidak dengan "tangan pincang".
Dengan proses yang berlarut-larut, maka wajarlah kemudian beberapa pihak menduga, di balik semuanya ada permainan politik. Lowongnya kursi wakil gubernur merupakan bagian dari desain politik, sengaja dibiarkan sambil menunggu hasil Pilpres 2019.
"Sudah mulai mengarah ke sana (potensi pemilihan wagub DKI setelah Pilpres). Ketika Prabowo kalah, Sandiaga ditarik lagi menjadi wagub," kata Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting.
Tentu selain warga ibukota, pihak yang lebih berkepentingan dalam suksesi pemilihan wagub DKI Jakarta adalah PKS. Partai inilah yang seharusnya giat mendesak supaya "jatah kue" mereka secepatnya diberikan. Tetapi sekali lagi, PKS justru malah larut dalam pesimisme dan pasrah pada hambatan yang terjadi.
"Bisa selesai Pilpres. Kembali pada masing-masing fraksi. Mungkin ini karena pada sibuk urus kampanye, pada ke dapil kemungkinan. Mudah-mudahan sehabis 17 April kan orang sudah enggak ada kesibukan politik kan. Tinggal mudah-mudahan fokus di pansus. Kita berharap begitu sehingga di bulan April tanggal 17 masih ada dua pekan, seharusnya itu bisa selesai," tutur Abdurahman Suhaimi, Ketua Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Namun betulkah mandeknya pemilihan wagub DKI yang baru karena alasan kesibukan para anggota dewan di tahun politik?
Benarkah PKS menginginkan posisi wagub DKI? Benar pulakah setelah Pilpres 2019 posisi wagub DKI akan diserahkan kepada PKS?
Apakah memang ada desain kepentingan politik yang lebih besar di baliknya, di mana PKS ikut berperan di dalamnya?
Apakah dugaan publik bahwa posisi wagub DKI sengaja dibiarkan lowong untuk diisi kembali oleh Sandiaga bila kalah dalam Pilpres akan menjadi kenyataan?
Beberapa waktu sebelumnya, Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Hashim Djojohadikusumo mengungkap mengenai pembagian kursi menteri kepada mitra koalisi bila Prabowo-Sandiaga menang Pilpres 2019.
"Ya, kami sudah sepakat. Kalau Prabowo-Sandi menang, sudah ada tujuh menteri untuk PAN, enam kursi untuk PKS," ujar Hashim.
Sembari menunggu realisasi pembagian kursi menteri inikah yang turut menambah motivasi PKS untuk tetap tabah dan bersabar?
Bukankah ketika nanti hasil Pilpres 2019 menyatakan lain, misalnya pemenangnya adalah Jokowi-Ma'ruf, maka jatah wagub DKI dan enam kursi menteri hanya tinggal kenangan? Sebegitu lugunya kah PKS menerima segala tawaran dari Partai Gerindra?
Apa pun pertimbangan PKS, termasuk kesiapan mereka menerima kenyataan pahit kelak (korban PHP), seharusnya kepentingan warga ibukota tidak boleh dipermainkan.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H