Di samping itu, dalam kegiatan survei internal, metode ilmiah standar sebaiknya juga dijunjung tinggi, yaitu dilakukan secara objektif supaya dapat dipertanggungjawabkan terbuka dan kemudian mudah dipercaya publik. Hasil survei tidak boleh diracik sendiri demi kepuasan sepihak.
Maka menurut saya, pengakuan hasil survei yang disampaikan BPN Prabowo-Sandi tanpa menghadirkan informasi menyangkut proses pengumpulan data dan metode penelitian adalah aksi 'akal-akalan' karena kehabisan akal. Sekali lagi jika memang betul hal itu dilakukan.
Aksi 'akal-akalan' untuk apa? Ya untuk meng-counter realitas data survei valid di lapangan. Atau barangkali sekaligus menarik perhatian publik supaya beralih kepercayaan.
Oleh sebab itu, saya setuju dengan apa yang disampaikan oleh Jusuf Kalla bahwa, kalau mau mendapatkan kepuasan yang lebih tinggi lagi, akan sangat baik bila hasil surveinya disulap maksimal. Biarkan nanti publik yang menilai, mana yang benar dan mana yang salah.
"Namanya juga internal, mau 100 persen, kek. Kenapa enggak sekalian aja," ujarnya, Selasa, 12 Maret 2019.
Saya hanya berharap, pola yang digunakan pada Pilpres 2014 lalu semestinya tidak terulang kembali. Apalagi capres yang "head to head" pada Pilpres 2019 ini sama, Jokowi dan Prabowo. Jejak-jejaknya sudah terbaca dan diketahui publik.
Obat kehabisan akal itu cuma satu, perbanyak usaha atau hindari tindakan manipulatif. Jangan sampai drama "sujud syukur" diputar ulang di tahun ini.
Satu lagi, biar publik percaya bahwa survei internal betul ada, sebaiknya BPN Prabowo-Sandi mengungkap kapan dan di mana survei tersebut dilakukan, syukur-syukur data rinci lainnya ikut dibeberkan.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI