Beberapa waktu setelah calon presiden (capres) petahana Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan kinerja pemerintahannya membangun jalan sepanjang 191.000 kilometer di acara debat ke-2 pada Minggu, 17 Februari 2019 yang lalu, ada fenomena menarik yang terjadi di tengah masyarakat, yang merupakan wujud aksi kritik atas apa yang diutarakan oleh capres petahana.
Fenomena tersebut adalah "berkubang" di tengah jalanan rusak di beberapa tempat. Seakan kompak, aksi unik dan lucu itu dilakukan di berbagai tempat yang hampir dalam waktu berdekatan, dan mungkin bersamaan.
Tidak hanya orang dewasa, aksi kotor-kotoran yang terdokumentasikan dalam bentuk foto dan video di atas, juga turut dilakukan oleh anak-anak. Kalau orang dewasa, barangkali bisa dianggap sudah paham maksud dari aksi tersebut, namun jika anak-anak ikut melakukannya, anggapan serupa tidak tepat diberikan.
Wujud kritik mereka seolah memuncak selepas debat capres ke-2. Artinya, mereka ini sebenarnya adalah orang-orang di luar kubu capres petahana, dan ingin Indonesia punya pemimpin baru. Sikap mereka sah-sah saja, karena mereka punya hak untuk menentukan pilihan.
Namun yang tidak wajar adalah cara mereka dalam menyampaikan kritik atau sindiran. Mungkin ungkapan penulis berikut cocok untuk mengkritik balik mereka bahwa, "kalau lapar, cukup membuka mulut dan mengeluarkan suara, tidak perlu membongkar isi perut". Atau ungkapan lain, "jangan mengolok-olok diri sendiri hanya karena keterbatasan yang dialami".
Yang kedua yakni, jalan-jalan yang dibangun pemerintah tidaklah berbentuk lurus dan tersambung utuh seperti yang dibayangkan. Selain berkelok-kelok, jalan-jalannya juga tersebar di ratusan dan bahkan ribuan tempat. Pandangan seperti ini harus dipahami. Ketidaksukaan terhadap pemerintah seharusnya tidak membuat logika menjadi sesat, dan kemudian menyesatkan.
Sebenarnya ada banyak cara positif dan edukatif yang bisa dilakukan dalam menyampaikan kritik, termasuk ketika sasarannya adalah pemerintah dan kinerjanya yang dianggap belum maksimal. Contohnya, demonstrasi, mimbar publik, diskusi, menulis surat terbuka, menulis artikel di media massa, meminta bantuan liputan wartawan, dan sebagainya.
Sebebal-bebalnya pemerintah, jika di antara beragam cara di atas sudah maksimal dilakukan warganya, tentu pasti akan ditindaklanjuti atau ditanggapi.