Sudah bisa dipastikan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kelak akan menggantikan posisi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai nakhoda Partai Demokrat (PD). Bagaimana tidak, AHY saat ini tampil dan ditampilkan bak bintang utama di partainya. Bahkan di saat sang ayah, SBY yang sedang sibuk mengurus pengobatan sang ibu, Ani Yudhoyono di Singapura, AHY diberi mandat penting, yakni memimpin perjuangan partai merebut suara pada Pemilu 2019.
Tidak hanya populer di partai, AHY juga sepertinya sudah mulai jadi idola masyarakat, terutama mereka yang mengaku generasi milenial. Sepak terjang politiknya yang dimulai sejak Pilkada DKI 2017 silam telah membuat nama AHY terpatri di hati sebagian masyarakat. AHY yang masih belia dan nekat meninggalkan karir militer untuk terjun ke dunia politik menjadikannya sosok unik dan langka.
Keputusan AHY beralih karir memang sempat memunculkan banyak pertanyaan karena sebagian kalangan menilai karir cemerlangnya sesungguhnya lebih tepat di bidang militer, di mana bisa mencapai pangkat setingkat dengan sang ayah, Jenderal SBY. Namun ternyata takdir menyatakan lain, daya tarik politik lebih kuat memikat hati AHY daripada suguhan impian jabatan prestisius di dunia militer.
Label dan pangkat terakhir sudah ditanggalkan, AHY kini seratus persen seorang politisi. Posisi sebagai bintang utama di partai dan salah satu nominasi idola masyarakat adalah modal buat AHY untuk semakin serius meniti karir di bidang politik.
Lalu apakah dua hal di atas sudah cukup bagi AHY untuk mewujudkan mimpi SBY dan PD ke depan?
Rasanya belum. Faktanya bahwa sampai sekarang AHY belum menduduki posisi tertinggi di partainya. Persoalan ini tentu ranah kebijakan partai dan SBY, mungkin tinggal menunggu waktu saja.
Persoalan lainnya adalah AHY juga belum pernah mengemban tugas dan jabatan publik, semisal di pemerintahan. Modal ini sempat ingin dititi dua tahun lalu tetapi kandas. Angan-angan menjadi gubernur ibukota sirna karena dikalahkan telak oleh para rivalnya.
Sembari menunggu keputusan partai memberi "kue jabatan", sudah sepantasnya AHY mencoba kembali meniti asa dan belajar mengasah kemampuan dalam menjalankan tugas pelayanan publik. Tidak harus menjadi calon gubernur lagi, tetapi barangkali di level yang lebih tinggi, misalnya jabatan menteri. Publik pasti akan menyambut dengan gembira jika AHY mau menimbang usulan seperti ini.
Sampai sekarang PD berstatus anggota koalisi pemenangan Prabowo-Sandi. Di samping berpeluh memperjuangkan misi koalisi, PD juga mesti bersusah payah mengangkat elektabilitasnya untuk mencapai target perolehan suara di parlemen minimal 15 persen. Dua tugas yang memecah fokus dan masih kabur untuk diraih. Keduanya sangat tidak mungkin dilakukan maksimal. Energi partai terbagi, yang ujung-ujungnya membuat dua target hilang tak terkendali.
Ringkasnya begini, PD sebaiknya fokus saja pada kepentingan internalnya. Pertama adalah meraup suara para pengguna hak pilih agar bisa lolos di parlemen yang mudah-mudahan sesuai target, dan yang kedua yaitu mempersiapkan posisi bagi AHY di pemerintahan.
Keberadaan PD di koalisi Prabowo-Sandi belum final membuahkan harapan. Hasil Pilpres 2019 masih dalam bayang-bayang. Sikap "hati mendua" PD yang kerap dipertontonkan ke publik jelas akan membawa dampak buruk bagi internal mereka sendiri.
Meski tidak diakui secara langsung, namun publik sesungguhnya menangkap bahwa PD sedang gamang dan bimbang. Pilihan berkoalisi di kubu Prabowo-Sandi sudah terbaca dari awal sebuah keterpaksaan. PD mulanya ingin berjuang bersama Jokowi, tetapi karena relasi intim dengan parpol utama pengusung capres petahana tersebut terhambat, akhirnya ikhlas tidak ikhlas mesti beralih dukungan ke capres penantang.
Tidak bermaksud mendahului buah pertempuran Pilpres 2019, namun berdasarkan hasil survei, pasangan capres-cawapres yang konsisten berada di atas angin saat ini adalah Jokowi-Ma'ruf Amin. Dan mungkin pula fakta 2014 yang lalu terulang, mantan penantang petahana kembali tumbang, karena memang hasil survei serupa pernah tersaji pada waktu itu dan terbukti menjadi kenyataan. Tidak hanya itu, beberapa parpol pendukung capres petahana mayoritas merebut hati masyarakat, yang mengalahkan parpol koalisi capres penantang, termasuk PD.
Oleh sebab itu, kebijakan PD untuk mau "meralat" keputusan awalnya adalah pilihan logis. Loyalitas pada koalisi perlu direvisi terang-terangan demi kebaikan partai, tanpa harus takut dicap sebagai pengkhianat. Pernyataan-pernyataan resmi partai yang tampak selalu abu-abu segera diakhiri, serta suara kader dan simpatisan di bawah sebaiknya didengar dan  ditindaklanjuti. Membiarkan para caleg bermanuver sendiri di lapangan demi elektabilitas sepertinya tidak akan berhasil. PD harus bersikap tegas, tidak boleh ragu.
Keputusan ada di tangan SBY, AHY dan PD. Waktu untuk berpikir ulang cukup tersisa sebulan lagi. Rencana "gebrakan dahsyat" yang disampaikan akhir tahun lalu yang sebenarnya harus diwujudkan di bulan ini dilupakan saja. Keberlangsungan partai dan masa berbenah diri bagi AHY jauh lebih penting ketimbang menjaga ketat "komitmen sesaat". Jokowi-Ma'ruf Amin dan mitra koalisi mereka pasti akan menyambut gembira niat baru SBY, AHY dan PD. Kesempatan bagi AHY untuk menajamkan terangnya bersama Jokowi-Ma'ruf Amin jauh terbuka lebar.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H