Saat selesai acara, ibu memanggilku dan memintaku untuk bersalaman dengan pakde Maksum dan bude Syarifah, alangkah bahagianya ketika Aisyah memanggilku, "Mas Faris, masih kenal aku ngga?"Â
"Siapa ya?" Mencoba menggoda Aisyah padahal sedari tadi pikiranku tertuju pada gadis cantik ini.Â
"Oh sudah lupa ya mas?, aku Aisyah yang dulu sering dijailin mas Faris", melihat wajah Aisyah yang sedikit kecewa membuatku semakin bahagia, karena berarti selama ini dia masih mengingatku.Â
" Aisyah, anak kecil yang cengeng itu, yang selalu mengadu sama ibumu kalau aku menjailimu? "
Seketika wajah Aisyah tersenyum dan keluarga kita pun tertawa bersama.Â
Semenjak pertemuan itu, aku dan Aisyah memulai komunikasi lagi, saling memberi kabar dan bercerita tentang kesibukan kita masing-masing. Termasuk menanyakan apakah Aisyah sudah memiliki calon pendamping dan lain-lain. Betapa bahagianya saat Aisyah menjawab kalau belum punya calon pendamping di saat dia sudah siap untuk berumah tangga.Â
Dua hari berlalu berasa kita sudah semakin dekat, dan aku mulai menceritakan perasaanku kepada kedua orangtuaku dan bermaksud untuk silaturahmi ke rumah Aisyah.Â
Kedua orangtuaku sungguh bahagia mendengar ceritaku dan maksud hatiku. Dengan semangat mereka membeli beberapa buah tangan untuk dibawa ke rumah Aisyah. Dan tibalah kita di rumah Aisyah dan membicarakan maksud kedatanganku dan keluargaku.Â
Pakde Maksum dan bude Syarifah menyambut keluargaku dengan penuh kehangatan, Aisyah yang ku tunggu akhirnya muncul dari balik pintu. Pakde dan bude menanyakan apakah Aisyah menerima lamaranku atau mungkin menolakku.
Hatiku berdebar-debar menunggu jawaban Aisyah, ibu memegang tanganku tanda menenangkanku.Â
Dengan tersipu malu Aisyah mengangguk dan itu pertanda kalau dia menerima lamaranku.Â