Mohon tunggu...
Tubagus Y. Ahdiat
Tubagus Y. Ahdiat Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Manusia Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Suka Duka Satu Ketika

26 Juli 2013   22:36 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:59 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BEBERAPA hari menjelang Ramadhan, setidaknya ada dua peristiwa penting yang memperkaya perjalanan hidup saya. Yang pertama, perempuan super yang saya nikahi tahun 2000 silam melahirkan putri ketiga kami lewat operasi caesar di sebuah rumah sakit khusus anak dan bersalin di bilangan Jakarta Barat.

Kehadiran Aisha --begitu kami beri nama-- makin menyempurnakan kehidupan saya. Ia adalah bidadari keenam yang mengelilingi saya di dunia ini.  Yang pertama tentu saja ibu saya yang telah melahirkan dan membesarkan saya. Yang kedua adalah ibu mertua yang sudah melahirkan anak yang kemudian menjadi istri saya.

Berikutnya adalah perempuan perkasa yang ikhlas menerima saya sebagai suami sekaligus imamnya. Berikutnya adalah putri pertama saya, Rafa namanya, yang kini sedang rajin berorganisasi di SMP-nya. Lalu, putri kedua kami bernama Alesha, yang masih duduk di SD. Dan yang terakhir adalah Aisha itu.

Karena berada di antara bidadari-bidadari itu, kata orang, jadilah saya paling jantan sendiri. Masih kata orang, jadilah saya paling tampan sendiri. Saya, ini juga kata orang, praktis tak punya saingan. Atas nikmat dan kepercayaan yang diberikan Yang Maha Hidup itu, jiwa raga saya tak henti-henti berucap syukur, "Alhamdulillah, segala puji hanya untuk-MU."

Masih dalam suasana gembira, pada sebuah siang saya diundang makan siang oleh Andra Donatta, utusan dari kantor Kubik Training & Consultancy. Sekadar catatan, ikon lembaga pelatihan ini Farid Poniman, Indrawan Nugroho, dan Jamil Azzaini. Di ujung oboralan, saya menerima sebuah amplop putih yang terbuka. Tak menunggu dipersilahkan, saya buka amplop ini lalu membaca selembar surat yang ada di dalamnya.

"Mohon maaf, kami belum bisa menerima mas dalam tim kami sebagai trainer," begitu kata Andra, mengulang isi surat yang saya baca. Sebagai manusia, ini bukan pembelaan, jujur saya tak menduga bakal mendengar kabar kurang menyenangkan ini.

Bagaimana tidak, hampir setahun saya menjalani proses seleksi dan pengkaderan di Kubik untuk menjadi seorang trainer. Saya juga tak pernah berhenti belajar memperbaiki penampilan, termasuk memperdalam wawasan dan pengetahuan saya ihwal materi khas Kubik yang biasa diberikan kepada para peserta training.

Sekadar informasi, sejak lama saya memang berkeinginan menjadi seorang trainer. Profesi ini, bagi saya pribadi, seperti sebuah tahapan karir berikutnya, setelah saya berkecimpung di dunia jurnalistik dan menjadi pengajar di beberapa ruang kelas mahasiswa dan pelatihan.

Apa nikmatinya sebetulnya menjadi trainer? "Berbagi ilmu dan pengalaman, dan membantu orang lain menemukan kehidupannya, bagi saya adalah salah satu ladang amal kebajikan yang bisa saya kerjakan sembari menunggu batas waktu kehidupan saya."

"Tetapi, mohon maaf sekali lagi, gaya mas belum Kubik banget. Kesan dosennya masih sangat kuat," Andra menjelaskan. Saya juga pelan-pelan berusaha menenangkan diri. Diam-diam saya juga meyakinkan diri, agaknya tak ada gunannya saya beradu argumentasi. Toh, keputusannya sudah bulat.

Apakah keinginan saya untuk berbagi ilmu lantas berhenti? Insya Allah tidak, karena saya yakin masih banyak panggung-panggung lain untuk berbuat kebajikan.  Khusus ilmu Kubik sendiri misalnya, bukan cuma untuk saya, siapapun diijinkan untuk menyebarluaskannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun