Memang benar, pada praktiknya, proses pertukaran informasi itu kerap kali dibumbui oleh kepentingan-kepentingan pribadi. Bergosip seringkali dijadikan strategi untuk meningkatkan reputasi dan keuntungan pribadi, dan pada saat bersamaan menjatuhkan harga diri orang lain. Bergosip seringkali sangat subjektif, ketimbang mendahulukan fakta objektif.
Jika itu yang terjadi, fungsi gosip secara sosial memang jauh panggang dari api. Sebab, banyak bukti menceritakan, jika dilakukan secara benar dan terkontrol, bergunjing sebenarnya banyak faedahnya. Begitulah kesimpulan Roy F. Baumeister dari Universitas Florida, setelah bersama koleganya mengkaji fenomena gosip di tengah-tengah masyarakat.
Menurut Baumeister, fungsi dan peran gosip sangat beragam. Pertama, gosip merupakan salah satu cara untuk mempelajari aturan atau norma tak tertulis yang berlaku pada sebuah kelompok sosial dan kebudayaan tertentu. Kedua, gosip merupakan cara sangat efektif untuk mengingatkan anggota kelompok ihwal pentingnya norma dan nilai yang berlaku. Ketiga, gosip juga merupakan alat untuk menghindari perilaku menyimpang, apalagi melewati batas.
Kesimpulan Baumeister itu, antara lain, selaras dengan hasil penelitian langsung terhadap tiga kelompok berbeda, yaknik para peternak sapi di California, pembudidaya lobster dan tim dayung mahasiswa –dua kelompok terakhir di Maine. Pada setiap kelompok ini, gosip berfungsi untuk mengembalikan anggota kelompok agar mematuhi norma-norma kelompoknya.
Individu-individu yang gagal memenuhi harapan kelompoknya masing-masing, menjadi sasaran tembak atau objek gosip dan akan diasingkan. Tekanan sosial kelompok itu, kemudian mendorong individu-individu itu untuk berusaha berubah menjadi lebih baik sehingga bisa diterima kembali menjadi anggota kelompok.
Menurut antropolog Jerome Barkow dari Universitas Dalhousie, objek gosip itu bermacam-macam. Tetapi, katanya, biasanya kita lebih tertarik pada informasi tentang lawan, teman, keluarga, mitra, dan figur-figur penting dan berpengaruh. “Informasi yang dicari umumnya yang berpotensi mempengaruhi ’status’ atau ’peran’ sosial kita,“ ujar Barkow.
Sederhana kata, manusia cenderung akan tertarik pada informasi individu lain yang secara sosial sangat penting dan berarti. Lalu, mengapa informasi celebriti juga sangat diminati? Apakah mereka punya peran sosial yang besar, khususnya bagi individu-individu yang gemar bertukar informasi selebriti?
“Evolusi peradaban manusia tidak membekali kita untuk mengenali atau membedakan dengan tegas siapa saja di antara anggota kelompok kita yang paling potensial mempengaruhi kita secara sosial,” kata Barkow. “Itu sebabnya, figur-figur dari industri hiburan menjadi lebih familiar dan punya peran sosial sangat penting.”
Tesis Barkow itu diperkuat kenyataan, bahwa pada jaman serba modern yang nyaris individualis ini, para selebriti seperti menggantikan peran para sahabat sejati di dunia nyata. Mengumpulkan dan saling bertukar informasi tentang para selebriti seolah-olah telah menjadi ukuran modernitas seseorang.
Penelitian yang dilakukan Charlotte J. S. De Backer, psikolog dari Universitas Leicester menemukan bukti bahwa para selebriti seperti disetarakan dengan role model pada jaman purba, dahulu kala. “Para remaja khususnya, cenderung mengikuti cara berpakaian, model interaksi, dan sejenisnya dari para selebriti atau figure-figur dari arena kebudayaan populer lainnya.”
Siapa saja boleh tidak setuju dengan pendapat Charlotte. Cuma, fakta tak terbantahkan: informasi selebriti memang terus membanjir. Suka tak suka, siapa saja berpotensi disambangi mereka saban waktu. Jadi, siapa suka bergosip selebriti, terus lanjutkan. Yang tidak suka, mulailah berpikir ulang.