Mohon tunggu...
Tubagus Nursayid 1
Tubagus Nursayid 1 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Hobi olahraga, seorang yang mempunyai daya juang tinggi dalam belajar, topik yang disukai tentang olahraga dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Sosok

Gus Miftah dan Penjual Es: Sebuah Pelajaran tentang Empati dan Keadilan

10 Desember 2024   13:28 Diperbarui: 10 Desember 2024   13:28 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Figur agama di Indonesia, seperti habib, gus, dan kiai, memegang peran penting dalam masyarakat. Mereka bukan hanya pembawa pesan moral dan spiritual, tetapi juga dianggap sebagai panutan. Oleh karena itu, setiap tindakan dan ucapan mereka selalu diawasi oleh publik. Namun, penting untuk diingat bahwa mereka tetap manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Baru-baru ini, Gus Miftah Maulana Habiburrahman menjadi sorotan karena pernyataannya yang dianggap mengejek pedagang kecil. Meskipun dia mengklaim itu hanya candaan, respons publik sangat beragam.

Namun, kesempatan untuk melakukan kesalahan tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melupakan tanggung jawab moral dalam menjaga ucapan. Sebagai figur publik, pemimpin agama harus sangat berhati-hati dalam setiap ucapan mereka, karena dampaknya tidak hanya pada individu, tetapi juga pada persepsi publik terhadap agama. Kaidah fikih "mencegah keburukan lebih utama daripada menciptakan kebaikan" mengingatkan kita bahwa menjaga ucapan yang dapat menimbulkan kerusakan harus diutamakan daripada sekadar menyampaikan pesan, bahkan jika niatnya adalah humor. Dalam forum publik, seperti pengajian, figur agama harus memastikan bahwa candaan atau ucapan mereka tidak menyakiti atau merendahkan orang lain.

Respons masyarakat terhadap kesalahan figur agama mencerminkan tingkat kedewasaan sosial. Seringkali, masyarakat Indonesia cenderung memberikan respons ekstrem, antara memuja secara berlebihan atau menghukum secara tidak proporsional. Sikap seperti ini, jika tidak dikelola dengan bijak, dapat menyebabkan perpecahan yang merugikan. Sebagai umat yang diajarkan untuk saling mengingatkan dalam kebenaran, kritik terhadap figur agama harus tetap disampaikan, tetapi dengan cara yang konstruktif dan penuh hormat. Kritik yang baik tidak hanya mengingatkan mereka untuk berhati-hati, tetapi juga membantu mereka memperbaiki diri agar dapat terus bermanfaat bagi masyarakat.

Di sisi lain, masyarakat juga harus mampu melihat kebaikan yang telah dilakukan oleh figur agama tersebut. Dalam kasus Gus Miftah, kontribusinya dalam mempromosikan toleransi, kerukunan antarumat beragama, dan dakwah yang inklusif tidak boleh diabaikan hanya karena satu kesalahan. Islam mengajarkan untuk menilai seseorang secara keseluruhan, bukan hanya dari satu tindakan atau ucapan yang keliru.

Kasus ini memberikan pelajaran penting bagi semua pihak. Bagi figur agama, ini adalah pengingat untuk selalu menjaga ucapan dan tindakan agar sesuai dengan nilai-nilai yang mereka ajarkan. Bagi masyarakat, ini adalah kesempatan untuk menunjukkan sikap bijak dan proporsional dalam menanggapi kesalahan, tanpa mengabaikan kontribusi besar yang telah diberikan. Secara keseluruhan, kita belajar bahwa harmoni sosial hanya dapat terwujud jika semua pihak saling memahami dan memberikan ruang untuk memperbaiki diri. Dengan sikap saling menghormati ini, nilai-nilai kebaikan dalam agama akan tetap terjaga, dan figur agama dapat terus berperan sebagai pilar moral di tengah masyarakat.Figuragama di Indonesia, seperti habib, gus, dan kiai, memegang peran penting dalammasyarakat. Mereka bukan hanya pembawa pesan moral dan spiritual, tetapi jugadianggap sebagai panutan. Oleh karena itu, setiap tindakan dan ucapan merekaselalu diawasi oleh publik. Namun, penting untuk diingat bahwa mereka tetapmanusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Baru-baru ini, Gus Miftah MaulanaHabiburrahman menjadi sorotan karena pernyataannya yang dianggap mengejekpedagang kecil. Meskipun dia mengklaim itu hanya candaan, respons publik sangatberagam.

Namun,kesempatan untuk melakukan kesalahan tidak boleh digunakan sebagai alasan untukmelupakan tanggung jawab moral dalam menjaga ucapan. Sebagai figur publik,pemimpin agama harus sangat berhati-hati dalam setiap ucapan mereka, karenadampaknya tidak hanya pada individu, tetapi juga pada persepsi publik terhadapagama. Kaidah fikih "mencegah keburukan lebih utama daripada menciptakankebaikan" mengingatkan kita bahwa menjaga ucapan yang dapat menimbulkankerusakan harus diutamakan daripada sekadar menyampaikan pesan, bahkan jikaniatnya adalah humor. Dalam forum publik, seperti pengajian, figur agama harusmemastikan bahwa candaan atau ucapan mereka tidak menyakiti atau merendahkanorang lain.

Responsmasyarakat terhadap kesalahan figur agama mencerminkan tingkat kedewasaansosial. Seringkali, masyarakat Indonesia cenderung memberikan respons ekstrem,antara memuja secara berlebihan atau menghukum secara tidak proporsional. Sikapseperti ini, jika tidak dikelola dengan bijak, dapat menyebabkan perpecahanyang merugikan. Sebagai umat yang diajarkan untuk saling mengingatkan dalamkebenaran, kritik terhadap figur agama harus tetap disampaikan, tetapi dengancara yang konstruktif dan penuh hormat. Kritik yang baik tidak hanyamengingatkan mereka untuk berhati-hati, tetapi juga membantu mereka memperbaikidiri agar dapat terus bermanfaat bagi masyarakat.

Disisi lain, masyarakat juga harus mampu melihat kebaikan yang telah dilakukanoleh figur agama tersebut. Dalam kasus Gus Miftah, kontribusinya dalammempromosikan toleransi, kerukunan antarumat beragama, dan dakwah yang inklusiftidak boleh diabaikan hanya karena satu kesalahan. Islam mengajarkan untukmenilai seseorang secara keseluruhan, bukan hanya dari satu tindakan atauucapan yang keliru.

Kasusini memberikan pelajaran penting bagi semua pihak. Bagi figur agama, ini adalahpengingat untuk selalu menjaga ucapan dan tindakan agar sesuai dengannilai-nilai yang mereka ajarkan. Bagi masyarakat, ini adalah kesempatan untukmenunjukkan sikap bijak dan proporsional dalam menanggapi kesalahan, tanpamengabaikan kontribusi besar yang telah diberikan. Secara keseluruhan, kitabelajar bahwa harmoni sosial hanya dapat terwujud jika semua pihak salingmemahami dan memberikan ruang untuk memperbaiki diri. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun