Mohon tunggu...
Tubagus Bagas
Tubagus Bagas Mohon Tunggu... Lainnya - seorang penulis lepas

menulis menenangkan jiwa, dan jalan menuju keabadian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Budaya Konsumerisme di Tengah Pandemi saat Ramadan yang Mengabaikan Protokol Kesehatan

21 Mei 2020   14:54 Diperbarui: 21 Mei 2020   15:04 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konsumerisme, merupakan suatu paham yang dijadikan sebagai gaya hidup yang menganggap barang mewah sebagai ukuran kebahagiaan, kesenangan, dan pemuasan diri sendiri. Budaya ini bisa dikatakan sebagai gaya hidup yang tidak hemat. Tentu tidak ada salahnya, jika rezeki yang kita dapat berlebih, sehingga kita bisa menyisihkan budget yang cukup besar untuk membeli barang -- barang yang keperluannya tidak terlalu vital dalam keberlangsungan hidup.

Namun budaya ini akan sangat menjadi fatal, apabila penghasilan para penganutnya berada dibawah standar berlebih, bahkan cenderung kurang. Hal ini sangat berbahaya, karena pada umumnya orang yang "secara tidak sadar" menganut paham ini akan mengabaikan kebutuhan dan lebih memprioritaskan keinginan mereka. Ini tentu tidak baik untuk kesehatan finansial mereka.

Ya, secara garis besar, seseorang tidak sadar jika mereka menjadi konsumtif, itu karena mereka mudah tergiur dengan anggapan bahwa barang mahal tersebut dapat meningkatkan derajat mereka, anggapan ini lah yang membutakan mereka, sehingga mereka merasa dari uang yang mereka miliki, masih cukup banyak untuk membeli barang -- barang tersebut. Jika uang tersebut sudah habis, barulah mereka menjadi sadar, manakah barang yang perlu mereka beli dan mana barang yang hanya menjadi pemuas nafsu konsumtif mereka.

Berkaitan dengan Indonesia, budaya konsumerisme sudah menjadi tradisi tahunan di negara ini. Lonjakan -- lonjakan pembelian barang non primer dengan harga fantastis, selalu terjadi di tiap tahunnya. Kapan lagi jika bukan di setiap bulan Ramadhan, saat menjelang hari raya idul fitri atau biasa disebut dengan lebaran.

Tentu ini tidak salah, karena setiap orang berhak mengalokasikan dana yang mereka kumpulkan untuk hal apa saja yang mereka ingini, apalagi jika dana tersebut adalah dana yang sengaja mereka kumpulkan selama setahun penuh untuk menjumpai momen ini. sah -- sah saja.

Namun akan menjadi masalah jika dalam hidup, mereka tidak memiliki dana cadangan, kebutuhan pokok mereka belum terpenuhi, bahkan parahnya mereka sampai meminjam uang demi untuk memuaskan hasrat mereka dalam membeli barang mahal itu sendiri. Yang pada akhirnya itu semua akan berujung pada hutang, hutang dan hutang. Padahal mereka mengetahui bahwa tidak wajib hukumnya berbelanja besar -- besaran di bulan Ramadhan. Bahkan cenderung melenceng dari ajaran agama, karena seharusnya di bulan suci ini mereka menjadi hemat dan prihatin, bukan malah menjadi pribadi yang konsumtif.

Dan satu hal lagi, pada Ramadhan kali ini, dunia sedang dilanda musibah. Ya apalagi jika bukan Covid-19. Covid-19 merupakan virus yang penyebarannya begitu cepat, yang metode penyebarannya melalui droplet (dapat menyebar dari benda yang terpapar virus dari orang yang terjangkit sebelumnya). Mereka menjangkiti segala usia, dari mulai balita hingga lansia tidak dapat menghindari serangan virus ini.

Itu sebabnya, dalam hal ini WHO(World Health Organisation) menganjurkan Lockdown untuk negara -- negara yang terjangkit virus ini. Di Indonesia istilah Lockdown di ubah menjadi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan di terapkan di beberapa kota -- kota besar di Indonesia. Yang mana secara garis besar aturannya tetap sama yaitu, membatasi pertemuan -- pertemuan berskala besar yang dapat menjadi metode penyebaran virus kian massif. Jaga jarak saat bertemu, hindari kerumunan, selalu cuci tangan dan memakai masker.

Bahkan di social media sendiri Indonesia menggunakan tagar #DiRumahAja sebagai bentuk kampanye untuk menggalang dukungan atas aturan tersebut. Menyusul trendingnya tagar tersebut di sekitar bulan maret. Muncul tagar -- tagar serupa seperti #WFH #SocialDistancing dan lain sebagainya. Munculnya tagar -- tangar ini merupakan bentuk dari kepedulian masyarakat dan bentuk pahamnya masyarakat mengenai bahayanya virus ini.

Sayangnya setelah beberapa bulan berjalan, nampaknya masih banyak orang Indonesia yang belum paham akan bahaya virus ini. memang dalam beberapa minggu terakhir, tagar -- tagar diatas tetap trending. Namun disisi lain, masyarakat masih banyak yang tidak peduli mengenai bahaya virus ini. sehingga menyebabkan kepadatan penduduk yang berkumpul di titik -- titik tertentu. Sebut saja contoh kasus penutupan gerai makanan cepat saji Mcd Sarinah.

Dengan alasan bahwa tempat tersebut merupakan tempat bersejarah bagi para pengunjung, mereka tidak segan -- segan untuk berkumpul ber ramai -- ramai untuk memperingati momen bersejarah tersebut, dan buruknya lagi hal tersebut mengabaikan protokol kesehatan. Mengingat zona tempat mereka berkumpul merupakan zona merah, zona paling aktif tingkat penyebaran virus Corona.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun