Makanya, ketika kita searching di google tentang Armaidi Tanjung, itu berjibun banyaknya pemberitaan, artikel, dan foto dia di berbagai media online.
Sekecil apapun momen yang dilakukan Armaidi, tak pernah tidak dipublikasikannya. Sejak mahasiswa, naluri sosialnya sudah terasah dengan mantap dan cekatan.
Hari ini, Armaidi sudah menikmati buah dari dinamikanya semasa mahasiswa dulu. Menikmati dengan air mengalir, dengan tetap menulis dan menulis.
Mungkin pagi Armaidi berada di kelas, mendampingi mahasiswa sebagai dosen. Siangnya, dia sudah harus pula menyiapkan kegiatan yang akan digelar DPD SatuPena Sumbar.
Lalu malamnya, Armaidi harus pula tampil sebagai ayahanda di Mapaba atau konferensi PMII. Dan kegiatan PMII itu harus pula selesai pukul 21.30, karena pukul 22.00 dia sudah janjian ketemu dan diskusi dengan mahasiswa senior PMII.
Itulah dinamika Armaidi saat ini saya lihat, dan saya simak. Di tengah kesibukan sosial yang padat itu, yang namanya menulis, tak pernah absen.
Armaidi terobsesi oleh Gus Dur, tokoh bangsa yang dikenalnya bisa menyelaraskan antara membaca dan menulis.
Tak heran, ketika lahir anak laki-lakinya, spontan dia beri nama Abdurrahman Wahid Arni Putra, yang saat ini tengah menginjak usia 21 tahun. Dan buku ini adalah kado terindah untuk Putra, begitu anak bujang Armaidi akrab disapa dalam kesehariannya.
Di samping dunia wartawan, organisasi juga menambah eratnya hubungan saya dan Armaidi. Dia mengurus Ansor Sumatera Barat dan saya di Padang Pariaman.
Bagi Armaidi, wartawan dan organisasi adalah dua institusi yang sama pentingnya dunia tulis menulis. Dalam berbagai iven organisasi, banyak pula dibuka bazar buku.
Bahkan Armaidi sendiri pun ikut dalam bazar buku itu. Baginya, buku selesai ditulis harus beredar dan dibaca oleh banyak orang.