Saya beruntung diundang oleh Pak Tjiptadinata Effendi tahun 2022, saat dia pulang kampung ke Padang.
Di sebuah restoran, para tamu dan sahabat serta keluarga besar Pak Tjipta dan Uni Roselina yang hadir, terasa sekali nuansa kekeluargaan yang dibangun begitu ikhlas dan tulus oleh penulis produktif kelahiran 1943 ini.
Itu pertemuan pertama saya dengan Pak Tjipta. Sebelumnya sering berkoresponden di dunia maya Kompasiana. Kami saling menyapa dan saling mendoakan. Yang membuat saya hadir dalam undangan itu, adalah ketulusan Pak Tjipta yang saya rasakan, ketika membaca komentar dia di hampir setiap tulisan saya di Kompasiana.
"Dunsanak nan elok budi," begitu Pak Tjipta memulai tulisannya di komentar tulisan saya itu.
Tulisan adalah menunjukkan karakter seseorang. Itu yang saya tahu. Nah, dari setiap komentar itu, saya sulit mengungkapkan kata-kata untuk seorang Pak Tjipta dan Uni Roselina yang tengah merayakan 60 tahun pernikahannya.
Seusai acara jamuan ulang tahun itu, saya bertambah dekat terasa dengan Pak Tjipta. Saat pertemuan pertama itu, saya sedang dihadapkan dengan ujian akhir di perguruan tinggi.
Yakni baru selesai Sempro, dan bersiap-siap untuk ujian Komprehensif di Universitas Tamansiswa Padang. Saya minta bantuan doa sama Pak Tjipta, supaya ujian itu lancar dan sukses sampai wisuda.
Alhamdulillah ujian saya tuntas. Tak lupa saya berkabar pada Pak Tjipta. Saya tahu, Pak Tjipta adalah tokoh hebat yang sudah sampai pada puncaknya.
Tahun berikutnya, 2023 saya juga diundang khusus oleh Pak Tjipta. Undangan lewat WA. Duh, senangnya. Seorang tokoh hebat yang saya kagumi karya tulisnya, mengundang lewat WA.
Saya berpikir, ternyata seorang Pak Tjipta mau mensave nomor kontak saya. Jarang itu terjadi. Tapi bagi Pak Tjipta, sepertinya kekeluargaan adalah resep untuk panjang umur dan murah rezeki, serta luas jaringan.
Tiga buku itu sudah saya baca, dan sudah tamat saking enaknya dibaca. Berjudul; "The Power of Dream, Kekuatan Impian, Enlightenment Mencapai Pencerahan Diri, dan Aplikasi Reiki dalam Mencapai Tingkat Master".
Buku itu saya dapatkan dari panitia ulang tahun Pak Tjiptadinata Effendi dan Uni Roselina Effendi ke-80, Ahad 17 September 2023 di Restoran Bernama, Padang.
Dari dua kali pertemuan itu, dan banyak membaca buku dan karya tulis Pak Tjipta, saya terasa sudah berguru pada tokoh yang tepat. Tulisan Pak Tjipta yang selalu mengedukasi, memberikan semangat, serta pentingnya hidup berbagi, adalah cerminan ketulusan seorang Pak Tjipta.
Dia senang dan suka menebar kebaikan. Kepada saya, selalu dia bicara logat Minang. Karena tahu mungkin orang sekampung.
Tentu dalam dunia maya bicara dengan bahasa keseharian kita, adalah lambang nasionalisme yang mantap.
Menjunjung tinggi kearifan lokal, meski Pak Tjipta dan keluarga sudah lama tinggal di luar negeri, tak membuat dia terbawa arus globalisasi yang kencang.
Bagi Pak Tjipta, apapun bisa jadi cerita. Kegiatan apa saja yang dilakukannya, bisa dikemas jadi bahan edukasi dan motivasi. Saya selalu menyimak itu dari Pak Tjipta.
60 tahun pernikahan Pak Tjipta dan Uni Roselina, adalah lambang keabadian. Menjalani hidup dan kehidupan yang penuh dengan gelombang pasang, suka dan duka yang datang silih berganti.
Saya ingin keabadian Pak Tjipta dan Uni Roselina kembali pakai baju pengantin seperti tahun lalu, di Istano Basa Pagaruyung. Dimana tahun kemarin itu, saya dikirimkan foto Pak Tjipta dan Uni Roselina yang sedang pakai baju pengantin, lalu saya ulas jadi tulisan.
Tapi, Pak Tjipta telah memberikan contoh dalam banyak hal. Contoh kehidupan yang abadi lewat ilmu pengetahuan yang diberikan kepada banyak orang.
Ilmu literasi yang sesungguhnya. Bahwa apapun patut ditulis dan patut diabadikan hasil karya tulis itu lewat buku.
Ilmu hidup mandiri, selalu bergantung pada Tuhan. Doa amat penting setelah ikhtiar dan usaha. Yang tak kalah penting, Pak Tjipta telah menularkan ilmu awet muda.
Bagi Pak Tjipta usaha harus berbarengan dengan doa. Sebab, hakikat sesuatu yang diperbuat adalah atas kuasa Tuhan.
Dari itu, kita dan saya banyak, bahkan terlalu banyak belajar dari Pak Tjipta. Belajar bagaimana bisa menulis seperti dia. Di usia Pak Tjipta yang tidak muda lagi, tapi masih luar biasa berkarya.
Melihat aktivitas menulis Pak Tjipta, saya teringat tokoh hebat Jakob Oetama, Rosihan Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Goenawan Mohamad dan sejumlah tokoh lain, yang sampai akhir kehidupannya tak pernah absen untuk menulis.
Menulis adalah untuk keabadian. Pak Tjipta telah melewati itu. Dan sepertinya akan terus menulis, memberikan edukasi, motivasi kepada umat manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H