Senin 9 September 2024 petang, Kota Banda Aceh tampak sibuk. Kami masuk Kota Serambi Mekkah itu, sekira dua jam menjelang waktu Magrib masuk.
Itu setelah menempuh perjalanan sekitar empat jam dari Meulaboh, Aceh Barat, dalam rangka monitoring PON XXI Aceh - Sumut.
Kebetulan tim kami yang berjumlah lima orang, dapat tugas di Cabor bola tangan yang pertandingannya di Meulaboh itu.
Cukup lama di Meulaboh di arena bola tangan, sebuah GOR yang rancak, terkesan baru dibangun, pakai nuansa islami.
Tersedia tempat shalat di bagian sisi GOR itu. Itulah Aceh, daerah istimewa yang konsen dengan syariat Islam.
Sebelum ke GOR, kami ke Dispora Aceh Barat, tak jauh dari GOR. Ya, di komplek Kantor Bupati Aceh Barat, Kota Meulaboh itu.
Kotanya rapi dan ramai. Bersih dan indah. Sejumlah gerbang tampak menghiasi kota itu.
Setelah menyaksikan tim bola tangan Sumbar latihan di dalam dan luar GOR, kami tentu menyapa dan memberikan dukungan penuh.
Dukungan penuh, Sumbar akan menghadapi tuan rumah Aceh dalam laga itu.
Zuhur menjelang. Suara orang mengaji saling bersahutan lewat pengeras suara masjid.
Anas yang mengemudi mobil, langsung belok kanan dari GOR, berbalik arah ke pusat kota Meulaboh.
Pas tiba di gerbang Masjid Agung Baitul Makmur, Jalan Imam Bonjol No.100, Drien Rampak, Kec. Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, mobil masuk pekarangan masjid itu.
Zuhur sekalian jamak qasar takdim di situ. Sebagai masjid agung, suasananya tertata rapi dan disiplin.
Imam dan muazin pakai baju khusus. Pun deretan bupati dan pejabat penting, punya tempat khusus di shaf depan bagian tengahnya.
Shaf khusus yang ditandai dengan papan jabatan. Artinya, siapa pun yang menjabat, kedudukannya dalam masjid, tetap di situ.
Penat juga mutar-mutar di Banda Aceh mencari homestay. Semua yang dituju penuh. Maklum, PON diikuti seluruh provinsi di Indonesia.
Hari kian kelam. Siang dan malam sebentar lagi serah terima. Berhenti di sebuah warung mie Aceh, ternyata akan tutup sebentar, karena Magrib menjelang.
"Tutup, Magrib dulu di masjid depan itu, pak," kata pemilik warung sambil menutup warungnya.
Kami pun terus naik mobil kembali, lanjut ke depan untuk mutar balik ke arah masjid.
Magrib di masjid itu sekalian jamak qasar takdim dengan Insya. Sehabis shalat lanjut ke warung tadi, tak jauh masjid.
Ternyata mie Aceh warung itu enak benar. Sepanjang jalan, kami sering makan mie Aceh, tapi tak ada seenak di kota Banda Aceh itu.
Mie Aceh-nya pakai kepiting. Diselingi segelas kopi, menambah suasana galau belum dapat homestay hilang seketika.
Sudah dihitung semua, mulai dari Aceh Selatan, di Meulaboh pernah juga makan mie Aceh, tapi yang paling enak memang warung yang dekat masjid itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H