Ketua STIT Syekh Burhanuddin Dr. Neni Triana berbisik ke saya saat protokol memulai acara.
"Kok tak banyak para tuanku yang hadir, ketua," bisik Neni Triana ke saya yang kebetulan tampil melaporkan kegiatan sebagai ketua panitia.
Aula sebesar itu, hanya penuh oleh deretan mahasiswa dan mahasiswi STIT. Ada para tuanku, hanya sebagian kecil di barisan depan.
Mahyuddin Salif Tuanku Sutan agaknya hadir dengan tradisi tuankunya.
Pimpinan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Batang Kabung ini tampil pakai sarung, dan sebuah serban yang disandangkan di bahunya.
Sama dengan Zainul Abidin Tuanku Bagindo, alumni Madrasatul 'Ulum Lubuk Pandan yang juga sering menanggapi berbagai wacana yang muncul di grup WA, juga hadir dengan pakaian kebesaran tuanku.
Sarungnya terlihat kokoh dan gagah ketika sehelai serban melilit di bidang bahunya.
Setidaknya, kita atas nama silaturahmi tuanku nasional yang akan memformalkan sebuah kepengurusan organisasi sosial kemasyarakatan tuanku ini, bangga dan apresiasi sekali kepada Mahyuddin Salif Tuanku Sutan dan Zainul Abidin Tuanku Bagindo.
Teruslah bersarung kemana pun dan dimana pun. Setidaknya, ini cerminan, betapa tradisi dan aktualisasi dari lambang ke-tuanku-an tak boleh hilang begitu saja di tengah gempuran nilai-nilai saat ini oleh dunia digitalisasi.
Dua kepala daerah, Walikota Pariaman dan Bupati Padang Pariaman hadir dan ikut memberikan sambutan dalam kegiatan itu.
Dan memang, dalam daftar hadir yang diedarkan di grup sebelum kegiatan, tak pula banyak yang mengisinya.