Saya membedah secara objektif saja. Yang rancaknya saya sebut, kalau bukunya bagus, dan amat sangat luar biasa.
Tapi saya selalu punya koreksi tersendiri. Terutama soal cover bukunya yang agak kurang menarik.
Lalu, kesendirian Armaidi Tanjung yang Caleg DPRD Sumbar dari PBB Dapil II, Padang Pariaman dan Kota Pariaman ini juga saya kritik.
Kritik untuk membangun. Sebab, tanpa editor dan editing, buku akan banyak memuat kesalahan. Baik penulisan huruf, penulisan nama kampung, yang mesti memakai tenaga orang lain untuk sebuah kesempurnaan.
Saya banyak membeli buku terbitan Buku Kompas dan Gramedia. Bukunya semua bagus, sulit mencari kesalahan isi bukunya.
Saya ingin, Armaidi dalam menerbitkan buku, pakai tenaga editor, sehingga bukunya bisa menarik.
Nah, dari kegiatan yang dua itu, saya sering kembali memegang buku. Memegang buku seperti dulu. Ada saja buku di tangan saya ketika di rumah.
Lebih lama saya baca buku, ketimbang melihat HP. Hobi lama saya kembali menyumbul, sepertinya.
Keasyikan membaca buku, semakin menarik saya di akhir tahun ini. Malah timbul semangat untuk mengumpulkan tulisan saya, dan berencana dijadikan buku.
Sepertinya, kehadiran buku di tengah hantaman digitalisasi amat sangat membantu kesehatan mata.
Membaca dan menulis buku sepertinya obat awet. Saya lihat Armaidi Tanjung yang sudah lebih 50 tahun, tapi mampu mengikuti tiga kegiatan dalam sehari, misalnya.