Jusuf Kalla yang saat itu berbicara dengan Malik Mahmud (tokoh sentral GAM), secara blak-blakan menggertak bahwa RI akan siap berperang selama 100 tahun. "Kode" keras ini dilontarkan langsung di hadapan Malik Mahmud. Jusuf Kalla memperingatkan bahwa pertempuran bakal berlangsung lama. Korban yang berjatuhan pun sudah pasti banyak orang Aceh. Karena arena perangnya adalah wilayah Aceh. Orang Aceh yang tinggal di Aceh tentu saja akan menuai penderitaan panjang dibandingkan yang berada di luar.
Terlepas dari efek ucapan Jusuf Kalla, Malik Mahmud tentu saja punya banyak pertimbangan di kemudian hari sebelum bersama timnya selaku perwakilan GAM setuju untuk mengakhiri konflik di Serambi Mekkah. Pikiran bijak Malik Mahmud bersama timnya sebagaimana diketahui akhirnya berhasil memetakan jalan menuju perdamaian.
Alam pun ternyata berpihak pada keberhasilan proses perdamaian Aceh. Musibah Tsunami justru mempercepat tercapainya kesepakatan kedua belah pihak. Secara struktural pun ikut berkontribusi. Proses perdamaian Aceh berhasil juga berkat dipengaruhi oleh faktor SBY selaku presiden RI, yang juga mantan petinggi TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Isu yang kala itu berkembang bahwa pihak TNI tak setuju berdamai dengan GAM. Tapi karena hubungan senioritas dan lobi tertentu akhirnya pihak militer melunak dan menerimanya. Bahkan SBY memperpanjang masa jabatan Panglima TNI yang saat itu dijabat oleh Endriartono Sutarto.
Tak ada yang berjalan mulus tanpa batu sandungan yang menghadang. Toh, pada akhirnya perdamaian Aceh berhasil dicapai melalui penandatanganan nota kesepahaman (momerandum of understanding) pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia.
Gertakan Jusuf Kalla dan pikiran bijak Malik Mahmud, tak lain merupakan dinamika yang terjadi dalam proses menuju perdamaian Aceh. Di samping peristiwa-peristiwa lain yang mengiringinya. Tak ada yang terjadi secara kebetulan belaka. Proses panjang dan pelik menuju perdamaian Aceh inilah yang mesti dihargai.
Sungguh tak terpuji bila masih ada pihak-pihak tertentu yang berupaya "mengompori" agar tanah Aceh kembali bersimbah darah. Yang di antaranya menuding pihak yang mewakili delegasi GAM sebagai pengkhianat. Justru tim delegasi GAM lebih memikirkan nasib jangka panjang Aceh beserta masyarakatnya, dibandingkan para provokator yang kemungkinan telah kehilangan "sumber pemasukan" setelah Aceh dalam kondisi damai.
Oleh karena itu, marilah sama-sama kita merawat perdamaian Aceh yang telah susah payah dicapai dengan mengisinya dengan pelbagai kontribusi positif melalui program pembangunan dan prestasi. Kalau pun tidak bisa. Sekurang-kurangnya tidak mengganggu kontribusi positif orang lain dan malah mengisinya dengan hal-hal negatif yang justru merugikan Aceh beserta masyarakat yang menghuni Tanah Rencong.
=======
Artikel ini pertama kali tayang di media online lokal acehtrend.com pada 2 Desember 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H