Mohon tunggu...
Tubagus Lawalata
Tubagus Lawalata Mohon Tunggu... Lainnya - Pedagang Air Keliling

Rakyat yang Memperhatikan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bisakah Kalian Mengembalikan "Waktu" yang Sudah Lewat?

21 September 2018   23:30 Diperbarui: 22 September 2018   00:08 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisakah 'kalian' mengembalikan 'waktu' yang sudah lewat? Pertanyaan retoris yang semua pasti sudah tahu jawabannya. Namun ternyata masih ada beberapa orang diluar sana yang mempertanayakan hal ini. Mengenai waktu yang lurus dan menerus. Suatu proses yang tidak dapat diperbaharui. 

Beberapa waktu yang lalu, aku menyudahi menjadi menjadi salah satu anggota suatu organisasi, keluarga yang sudah belasan tahun aku ikuti dan mencoba untuk kembangkan.

Namun karena aksi satu individual, belasan tahun menjadi seakan - akan hilang tidak berarti, dan semoga bukan kesia-siaan yang di dapat kini. Entah apakah salah individu itu adalah dirinya ataukah diriku sendiri? Opini melawan opini. Kata melawan kata. Pendapat yang berkuasa. Menghakimi sudah pasti akan terjadi.

Dengan demikian, Harapannya bisa tetap menjalin tali silaturahmi, namun, ternyata, bahkan sebelum keputusan tersebut diutarakan, komunikasi pun sudah tidak dapat terjalin dengan baik. Tidak bisa di pungkiri bahwa beberapa kali masalah terjadi karena masalah komunikasi ini. 

Mulai dari cara penyampaian dan cara memberikan penjelasan yang menjadi sumber perbedaan pendapat. 3 tahun terakhir ini, dengan harapan bisa mendapatkan perubahan, maka aku mencoba mengikuti apa yang mereka inginkan. Namun, ternyata kini, semua berbalik menjadikan aku masih bersama. Hanya beberapa orang yang mencoba menghubungi dan menanyakan "apa yang sebenarnya terjadi" kepadaku.

Ketika alasan 'pelajaran tentang etika' dan 'nilai yang diturunkan' menjadi suatu polemik yang menjadi sumber friksi, maka makna kata menjadi sia-sia. Berdiskusi dengan orang bodoh hanya akan membuat diri kita menjadi bodoh. 

Singkat kata, jika memang perbedaan pendapat merupakan hal biasa, tujuan yang lebih besar dan dewasa adalah hal yang ingin di raih dan di

Balik lagi karena eksistensi (baca Sartre untuk landasan teori), makhluk halus yang menjadi salah satu penyebab kekacauan di jaman ini, yang membuat manusia menjadi saling menyakiti satu sama lain. bahkan luka yang diakibatkan tidak akan terlihat karena luka oleh kata jauh lebih menyakitkan daripada iris pisau atau pedang yang akan sembuh dalam waktu tidak terlalu lama.

Bahkan ketika komentar seperti ini dilontarkan kepada mereka yang berpikiran bahwa mereka selalu benar tanpa memikirkan perasaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang lain maka semua proses menyakiti tadi akan terus berulang hingga waktu yang mungkin tidak terhingga. Jika individu tersebut tidak belajar bahwa ada pilihan untuk berhenti menjalani kebiasaan yang berujung kepada kesia-siaan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun