Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah program yang dirancang untuk menghubungkan mahasiswa dengan masyarakat, sekaligus memberikan mereka kesempatan untuk mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari di bangku kuliah. Melalui program ini, diharapkan mahasiswa dapat membantu mengembangkan daerah tertentu dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat. Namun, dalam praktiknya, pelaksanaan KKN sering kali menghadirkan tantangan tersendiri bagi mahasiswa, terutama karena kurangnya dukungan dan persiapan dari pihak universitas. Salah satu kritik yang sering disampaikan mahasiswa adalah minimnya dukungan dana dari universitas. Meski universitas menuntut mahasiswa untuk merancang dan melaksanakan program yang kompleks dan berskala besar, dukungan finansial yang diberikan sering kali jauh dari cukup. Mahasiswa diharapkan menjalankan program-program yang berdampak positif bagi masyarakat, tetapi mereka harus berjuang dengan dana yang sangat terbatas. Dalam banyak kasus, hal ini memaksa mahasiswa untuk mencari dana tambahan dari kantong pribadi, yang tentu menjadi beban tersendiri.
Untuk menyiasati keterbatasan dana ini, banyak mahasiswa berinisiatif mencari sponsor dari luar untuk mendukung kegiatan mereka. Mencari sponsor memang merupakan langkah yang kreatif dan sering kali sangat dibutuhkan dalam situasi ini. Namun, upaya ini tidak selalu berjalan mulus. Banyak mahasiswa yang mengeluhkan kurangnya dukungan dari kampus dalam membantu mereka mencari sponsor. Salah satu masalah utama adalah ketidaksiapan kampus dalam menyediakan dokumen-dokumen penting, seperti proposal resmi yang diperlukan untuk mengajukan sponsor. Dalam beberapa kasus, proposal-proposal yang diperlukan untuk mencari sponsor baru disediakan oleh pihak kampus setelah program KKN sudah berjalan selama 10 hari atau lebih. Hal ini jelas menyulitkan mahasiswa. Dengan waktu yang sudah berjalan dan kegiatan KKN yang sudah berlangsung, mereka terpaksa berusaha mengejar sponsor di tengah-tengah pelaksanaan program. Tentu saja, hal ini menambah beban kerja dan tekanan bagi mahasiswa, yang seharusnya dapat lebih fokus menjalankan program yang telah mereka rancang.
Masalah ini menunjukkan kurangnya koordinasi dan persiapan dari pihak kampus. Dalam program sebesar KKN, perencanaan yang matang harus dimulai jauh sebelum pelaksanaan. Proposal-proposal resmi seharusnya sudah tersedia jauh sebelum mahasiswa turun ke lapangan, sehingga mereka bisa memiliki waktu yang cukup untuk mencari sponsor atau dana tambahan yang dibutuhkan. Ketika dokumen-dokumen penting seperti proposal baru disediakan setelah KKN berjalan, hal ini tidak hanya mengganggu kelancaran kegiatan, tetapi juga mengindikasikan bahwa kampus kurang serius dalam mendukung mahasiswa untuk berhasil dalam KKN. Selain itu, ketidaksiapan kampus tidak hanya terbatas pada masalah dukungan dana atau keterlambatan proposal. Banyak mahasiswa juga mengeluhkan bahwa pihak kampus sering kali memilih lokasi KKN tanpa melakukan kajian mendalam terlebih dahulu. Lokasi yang dipilih terkadang tidak strategis atau tidak relevan dengan program yang direncanakan oleh mahasiswa.
Ketidaksiapan ini juga terlihat dalam kurangnya koordinasi antara kampus dengan pemerintah daerah setempat. Di banyak lokasi KKN, mahasiswa sering kali menemukan bahwa program yang mereka bawa tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat atau pihak pemerintah lokal. Hal ini sering kali terjadi karena kampus tidak melakukan sosialisasi yang cukup kepada pihak-pihak terkait di daerah tujuan KKN. Akibatnya, mahasiswa menghadapi kendala dalam melaksanakan program mereka karena kurangnya dukungan lokal. Selain masalah teknis dan logistik, pendampingan dari dosen pembimbing sering kali juga kurang memadai. Secara formal, setiap kelompok KKN didampingi oleh dosen pembimbing yang seharusnya memberikan bimbingan dan arahan selama pelaksanaan program. Namun, dalam praktiknya, banyak mahasiswa yang melaporkan bahwa dosen pembimbing mereka tidak terlibat secara aktif. Dosen pembimbing terkadang hanya hadir di awal dan akhir program, tanpa memberikan pendampingan yang cukup selama mahasiswa berada di lapangan. Akibatnya, mahasiswa harus berjuang sendiri mengatasi berbagai masalah yang mereka hadapi di lokasi KKN, mulai dari kendala teknis hingga interaksi dengan masyarakat setempat.
Universitas perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan KKN, terutama dari segi manajemen dan perencanaan. Dukungan dana yang memadai harus menjadi prioritas, sehingga mahasiswa tidak perlu mencari dana tambahan sendiri atau mengeluarkan uang pribadi untuk menutupi kekurangan. Selain itu, kampus perlu memastikan bahwa proposal resmi dan dokumen penting lainnya sudah disiapkan jauh sebelum KKN dimulai, sehingga mahasiswa memiliki waktu yang cukup untuk mencari sponsor atau mengajukan permohonan dana. Pemilihan lokasi KKN juga harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Kampus harus melakukan kajian mendalam mengenai kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat sebelum memutuskan lokasi KKN. Koordinasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat juga harus ditingkatkan, sehingga program yang dirancang oleh mahasiswa bisa sesuai dengan kebutuhan lokal dan mendapatkan dukungan yang dibutuhkan. Selain itu, dosen pembimbing harus lebih aktif dalam mendampingi mahasiswa selama pelaksanaan KKN, sehingga mahasiswa tidak merasa ditinggalkan ketika menghadapi masalah di lapangan.
Dengan dukungan yang lebih baik dari kampus, KKN bisa menjadi pengalaman yang berharga dan bermanfaat bagi mahasiswa maupun masyarakat. Tanpa dukungan yang memadai, KKN justru bisa menjadi beban tambahan yang menambah tekanan dan mengurangi makna dari program itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H