Mohon tunggu...
Yudha Adi Nugraha
Yudha Adi Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penggiat Alam Bebas

Saya adalah seorang individu yang memiliki kepribadian yang ramah dan terbuka. Saya memiliki rasa ingin tahu yang besar dan selalu tertarik untuk mempelajari hal-hal baru. Dalam waktu luang, saya menikmati membaca buku-buku non-fiksi, hukum serta teknologi dan saya sangat menyukai pendakian gunung. Saya menganggap kemampuan komunikasi sebagai kelebihan utama saya. Saya selalu berusaha untuk menjelaskan hal-hal dengan jelas dan dapat berinteraksi dengan baik dengan orang lain. Sisi lain dari saya adalah bahwa saya bisa terlalu keras pada diri sendiri dan memiliki tendensi untuk mengabaikan istirahat dan keseimbangan hidup. Visi saya adalah untuk terus berkembang dalam karier saya dan menjadi seseorang yang berpengaruh. Saya juga ingin memanfaatkan kemampuan dan pengetahuan saya untuk membantu masyarakat dan membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Undang-Undang dalam Menanggulangi Penyebaran Berita Palsu di Era Digital

30 Desember 2023   18:00 Diperbarui: 30 Desember 2023   18:04 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat adalah hak konstitusional setiap individu yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) di Republik Indonesia. 

Dalam era demokrasi dan teknologi informasi modern, kebebasan ini semakin diperluas melalui berbagai media, termasuk media sosial. Namun, dengan kebebasan tersebut, muncul tantangan baru, seperti penyebaran berita palsu atau hoax, yang dapat merugikan masyarakat. UUD 1945 menjadi landasan hukum utama bagi pelaksanaan kebebasan berekspresi di Indonesia. 

Meskipun hak ini ditempatkan pada posisi tertinggi, harus tetap dalam koridor hukum yang berlaku (Nuna, 2019). Selain itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan landasan hukum yang lebih spesifik terkait kejahatan di dunia maya.


 Fenomena Berita Palsu di Indonesia

Fenomena berita palsu atau hoax di Indonesia menunjukkan tren yang meningkat, khususnya sejak pemilihan presiden pada tahun 2014, yang mana media sosial menjadi kanal utama penyebarannya. Perkembangan teknologi dan penetrasi internet yang pesat memberikan ruang lebih besar bagi penyebaran berita palsu. Fenomena ini kerap digunakan sebagai alat politik dalam kampanye hitam untuk merusak reputasi individu atau partai politik lawan. Maraknya berita palsu di media sosial dapat disebabkan oleh rendahnya literasi digital masyarakat, kurangnya kemampuan memilah informasi yang benar, serta ketidakmampuan untuk mengidentifikasi sumber berita yang terpercaya. Dalam konteks politik, berita palsu sering digunakan untuk menciptakan opini negatif terhadap kandidat atau partai, mengubah persepsi publik, dan memanipulasi opini masyarakat. Dampaknya meluas, tidak hanya merusak reputasi politik, tetapi juga menciptakan kekhawatiran sosial, terutama dalam isu-isu kesehatan dan keamanan. Upaya penanggulangan perlu dilakukan melalui peningkatan literasi digital masyarakat, kerjasama dengan platform media sosial untuk mengidentifikasi dan menghapus konten palsu, serta penguatan hukum untuk memberikan sanksi tegas terhadap pelaku penyebaran berita palsu. Contoh-contoh kasus berita palsu yang terkait dengan politik dan isu sosial menunjukkan perlunya pendekatan holistik melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, media, dan masyarakat guna mengatasi fenomena berita palsu secara efektif.

Dampak Sosial dan Hukum

Dampak sosial dari penyebaran berita palsu di Indonesia mencakup berbagai aspek yang dapat merugikan masyarakat secara luas. Salah satu dampak utama adalah terjadinya kegaduhan dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap media arus utama. Seiring maraknya berita palsu, masyarakat menjadi semakin skeptis terhadap informasi yang disajikan oleh media tradisional. Hal ini mengakibatkan menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga media yang seharusnya menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya. Penyebaran hoax juga dapat mengarah pada penurunan kualitas informasi yang diterima oleh masyarakat. Ketika individu terpapar berita palsu, mereka cenderung mencari informasi tambahan dari sumber yang kurang profesional atau bahkan tidak terverifikasi. Hal ini tidak hanya meningkatkan risiko penyebaran informasi yang salah, tetapi juga merugikan kualitas diskusi dan pemahaman masyarakat terhadap isu-isu tertentu.

Dampak hukum dari penyebaran berita palsu melibatkan tantangan dalam menegakkan keadilan dan kebenaran. Ketidakjelasan mengenai sumber dan keabsahan informasi sering kali membuat proses hukum menjadi rumit. Masyarakat yang menjadi korban berita palsu dapat mengalami kerugian baik secara finansial maupun reputasi. Oleh karena itu, perlunya peraturan hukum yang efektif untuk menanggulangi penyebaran berita palsu dan menegakkan pertanggungjawaban bagi pelaku. Selain itu, penyebaran berita palsu juga dapat memicu konflik sosial dan merugikan kelompok atau individu yang menjadi target kampanye hitam. Dalam konteks hukum, perlu adanya peraturan yang jelas untuk menanggapi tindakan penyebaran berita palsu, termasuk sanksi yang tegas bagi pelaku. Upaya pencegahan melalui peningkatan literasi digital dan sosialisasi hukum terkait juga menjadi kunci dalam menanggulangi dampak sosial dan hukum dari fenomena berita palsu di Indonesia.

 UU ITE dan Penanganan Hukum

Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 11 Tahun 2008 menjadi payung hukum yang memberikan kewenangan untuk menangani penyebaran berita palsu di dunia maya di Indonesia. Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU ITE menjadi dasar hukum yang relevan dalam menanggulangi fenomena berita palsu. Pasal ini mengatur tentang penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang melibatkan tindakan pencemaran nama baik atau menyebabkan rasa tidak aman bagi masyarakat. Pasal 14 ayat (1) UU ITE menyatakan bahwa setiap orang yang sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik dapat dikenakan pidana. Ini mencakup penyebaran berita palsu dengan tujuan merusak kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, Pasal 14 ayat (2) menyebutkan bahwa setiap orang yang menyebarkan informasi yang menyesatkan dan dapat merugikan orang lain dapat dikenai pidana.

Penerapan UU ITE dalam penanganan berita palsu memberikan landasan bagi penegak hukum untuk menindak pelaku penyebaran berita palsu secara efektif. Meskipun demikian, penerapan UU ITE juga menuai kritik terkait kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan untuk menekan kebebasan berpendapat. Oleh karena itu, perlu keseimbangan yang baik antara menegakkan hukum dan melindungi hak-hak asasi individu. Pentingnya pemahaman yang baik terhadap UU ITE oleh aparat penegak hukum, pengadilan, dan masyarakat menjadi kunci dalam menjaga keseimbangan tersebut. Selain itu, upaya penyuluhan dan edukasi terkait konsekuensi hukum dari penyebaran berita palsu juga dapat membantu mencegah pelanggaran UU ITE. Penanganan hukum terhadap penyebaran berita palsu melalui UU ITE menjadi bagian integral dalam upaya melawan fenomena berbahaya ini dan melindungi masyarakat dari dampak negatifnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun