Mohon tunggu...
Tu-ngang Iskandar
Tu-ngang Iskandar Mohon Tunggu... -

mahasiswa seni rupa, penganut kebebasan berfikir dan pecinta kopi Aceh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nasionalisme Indonesia Pura-pura

18 Agustus 2013   00:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:11 1484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita mulai dengan menegaskan bahwa tiada sesuatu sanggup bertahan dalam kepura-puraan, tidak terkecuali, karena dunia adalah kenyataan dan manusia adalah makhluk yang tidak kuat menanggalkan dirinya untuk hidup dalam kepura-puraan terus menerus.

Hari ini genap 68 tahun sejak Indonesia memproklamirkan dirinya sebagai negara merdeka. Warna merah putih dan upacara di tiap sudut telah pun mewarnai tiap tanggal tujuhbelasan di bulan Agustus, tanda bahwa rakyat Indonesia sungguh senang, bahagia dan puas terhadap Negara ini.

Sebagian bahkan lebih lantang lagi mengatakan bahwa “ini adalah bentuk nasionalisme Indonesia, kita harus menghormati bendera beserta tiang-tiangnya, lihatlah anak-anak sekolah dari kemarin sampai hari ini masih berlelah-lelah, bukankah ini bentuk kecintaan?” Ungkap mereka dengan gagah berani.

Baiklah, kita anggap saja itu bentuk, yaitu bentuk nasionalisme sehari untuk menutupi kegagalan sejati para pemimpin dalam membangun bangsa ini. Oleh sebab itulah bendera-bendera dibagi, ultimatum-ultimatum didengungkan sampai ke pelosok-pelosok negeri ini untuk merayakan kemerdekaan semu dan nasionalisme pura-pura. Karena selanjutnya semua rakyat juga akan kembali kepada caci maki mereka masing-masing ketika melihat para nasionalis-nasionalis berduyun-duyun mencuri, hasil-hasil alam bentuk keringat rakyat sudah tidak punya harga jual lagi, sedangkan kekayaan negeri yang melimpah dari Sabang sampai Merauke telah pun dijual ke pihak asing.

Indonesia hanya nama diantara tanah dan air dan bukan hasil diantara keduanya. Sedangkan nasionalisme adalah obat lupa agar rakyat Indonesia menjadi pikun permanen, tanpa perlu meninjaunya kembali, seakan-akan Sukarno adalah makhluk yang sempurna dan telah memikirkannya jauh-jauh hari.

Namun pada hari ini patut kita renungkan kembali apakah nasionalisme Indonesia itu ada atau tidak pada kenyataannya, agar tidak mudah tertipu terhadap ide bodoh dan pura-pura segelintir orang yang mengatasnamakan bangsa yang besar ini. Karena tidaklah bijak memandang sesuatu dari teorinya semata tanpa melihat kenyataan yang sebenarnya.

Karena sejak revolusi Perancis, Nasionalisme telah pun banyak diperdebatkan sampai dewasa ini. Bahkan ratusan buku telah ditulis dalam berbagai bahasa untuk mengupas arti nasionalisme itu. Oleh karenanya, kita tidak perlu mengambil bagian dalam memperdebatkan apakah arti nasionalisme itu, tetapi marilah kita pusatkan perhatian kita untuk menerangkan apa yang bukan nasionalisme itu, tulis Tengku Hasan Tiro dalam bukunya yang berjudul “Demokrasi Untuk Indonesia”, yaitu salah satu buku yang ditulisnya sebelum memberontak terhadap kesewenang-wenangan Indonesia.

Lebih lanjut beliau juga menulis untuk bangsa ini bahwa nasionalisme itu bukanlah patriotisme. Yang kita perlukan untuk mendirikan Negara ialah patriotisme dan bukan nasionalisme. Patriotisme ialah semangat cinta kepada tanah air dan bangsa yang berpangkal pada perasaan kesedihan mempertahankan diri sendiri, yang dalam pertumbuhannya dirasakan menjadi kewajiban suci, yang dalam pelaksanaannya melibatkan pengorbanan diri sendiri. Patriotisme selamanya tidak bersifat mempertahankan diri, bersifat “passive”, tetapi nasionalisme selalu bersifat menyerang, “aggressive”. Nasionalisme membagi-bagi makhluk manusia dalam golongan-golongan mutlak yang tidak bisa diatasi, di mana golongan sendiri dianggap berada di atas segala kesalahan, lebih-lebih dalam persengketaan dengan golongan yang lain; paham yang membenarkan slogan “benar atau salah negeriku sendiri” tidak mengakui adanya hukum dan keadilan di atas bangsa itu.

Sejarah telah membuktikan pada kita, belum ada satu negara yang berdasarkan nasionalisme itu pernah hidup kekal dalam perdamaian. Semua Negara yang berdasarkan nasionalisme itu berakhir menjadi penyerang dan hancur dalam perpecahan yang menyakitkan. Seperti nasib Perancisnya Napoleon, Jermannya Bismasrc atau Hitler, dan Italinya Mussolini.

Sebenarnya belum pernah ada Negara-negara besar di dunia didirikan atas dasar nasionalisme. Karena jika negara itu adalah negara besar, maka terdiri dari berbagai bangsa didalamnya, untuk itu mustahil nasionalisme dapat didirikan, kecuali hanya terdiri dari satu bangsa saja. Karena setiap bangsa pasti memiliki nasionalisme masing-masing, dan ketika salah satu nasionalisme dipaksakan maka nasionalisme lain juga akan muncul ke permukaan, seperti ditunjukkan Aceh, Papua, dan beberapa wilayah lain di Indonesia.

Oleh karena itu, untuk mendirikan negara Indonesia yang kita perlukan adalah patriotisme Indonesia, yang sudah nyata-nyata dibuktikan oleh perjuangan nenek moyang kita dalam mempertahankan kemerdekaan tanah air kita di masa dahulu. Dan oleh kita sendiri dalam merebut kemerdekaan kita di zaman ini. Bukanlah nasionalisme Indonesia seperti yang digembor-gemborkan oleh sebagian orang yang telah berhasil membuatnya sebagai sumber kemewahan bagi golongan dan pribadi adalah bentuk dari tidak adanya nasionalisme Indonesia itu sendiri, karena yang mereka perjuangkan adalah nasionalisme masing-masing dan bukan kepentingan bersama atas nama nasionalisme Indonesia.

Maka sebagai bangsa yang cerdas marilah kita lihat kembali apakah nasionalisme Indonesia itu benar-benar ada dalam kenyataannya, apakah cukup dengan garuda di dadaku, sedangkan kenyataan hati dan perut selalu perih menjalani kenyataan sehari-hari akibat dari nasionalisme Indonesia yang justru tidak terlihat dalam pertunjukan kenyataan sehari-hari?.

Apakah kita masih menyalahkan bangsa bangsa lain di Indonesia atas nasionalismenya masing-masing, atas rasisme, atas egoisme, dan romantisme mereka karena dari melihat hanya bangsa tertentu dan kelompok tertentu saja yang diuntungkan atas nasionalisme Indonesia?.

Bukankah yang justru menyebabkan Indonesia terpecah-belah adalah karena nasionalisme Indonesia itu sendiri yang terlalu dipaksakan sebagai topeng untuk mengeruk keuntungan dan membangun ketidakadilan atas manusia yang ada di seantero Indonesia?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun