Pada dasarnya manusia hidup penuh dengan kebebasan diri untuk dapat mengekspresikan setiap harinya. Namun kebebasan tersebut memiliki konsekuensi jika menempati negara dengan hukum sebagai Panglima tertingginya. Kebebasan pun akan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum untuk mengatur segala sesuatunya di negara ini.Â
Pro dan kontra kerap kali muncul terhadap ketentuan yang dihasilkan oleh yang memiliki kebijakan untuk membuat undang-undang ataupun yang tergabung dalam hukum itu sendiri yakni, tiga lembaga besar negara Indonesia yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif.Â
Terlepas dari semua itu, baru-baru ini kita dapati suatu produk undang-undang yang menurut pemangku kebijakan yaitu Presiden dan DPR diyakini dapat mengakomodir semua elemen kepentingan bangsa Indonesia yang diimplementasikan melalui membuat suatu produk peraturan. Produk tersebut adalah Undang-Undang Cipta kerja, yang konon menggabungkan dari berbagai undang-undang yang dinilai selama ini kurang efektif dan efisien dalam menjalankan penegakan hukum di negeri ini.
Kendati kerap menuai penolakan dari berbagai pihak karena dianggap "barang rusak", Presiden Joko Widodo tetap menandatangani draft Undang-Undang Cipta Kerja yang berisi 1.187 halaman pada 2 November 2020 lalu.Â
Dengan penandatanganan draft final ini maka sah dan berlaku lah UU Cipta Kerja menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020. Alih-alih disusun menggunakan metode omnibus law agar dapat memperbaiki peraturan yang sudah ada, undang-undang ini justru membuat regulasi di Indonesia kian tumpang tindih dan saling bertentangan.Â
Khususnya pada peraturan mengenai kebijakan lingkungan hidup yang mencakup UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) serta UU Kehutanan. Implikasi dari adanya UU Cipta Kerja ini memunculkan kekhawatiran dari peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Hery Purnomo.Â
Ia mengatakan  adanya deforestasi tinggi akan berisiko bagi lingkungan di balik efisiensi investasi dan kemudahan berusaha yang ditawarkan oleh UU Cipta Kerja. Tanpa penetapan fungsi hutan lebih dulu, kawasan hutan akan bisa diubah untuk pelbagai keperluan apa pun. Undang-Undang Cipta Kerja membuka peluang perubahan-perubahan fungsi kawasan hutan itu karena terlalu condong pada investasi.Â
Hal senada pun diungkapkan Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial WALHI Nasional, ia mengatakan batasan minimal 30% kawasan hutan dihapus dalam UU Cipta Kerja, kondisi ini terlihat dari perubahan Pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dalam UU Cipta Kerja.Â
Tidak cukup sampai disitu, adanya kekeliruan regulasi dalam mengatur pemanfaatan sumber daya alam ini dilihat hanya untuk memenangkan kepentingan kapitalis sehingga mengancam kerusakan pada lingkungan serta berujung terjadinya bencana ekologis. Sebagai contoh, adapun penghapusan pasal pemidanaan pada kewajiban industri untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagai izin bisnis.Â
Sementara itu dalam upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak ada aturan untuk mengatur suatu keputusan izin penyelenggara usaha seperti yang sebelumnya tertera dalam Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).Â
Disamping itu, minimnya keterlibatan masyarakat yang merupakan pihak paling terdampak dari kerusakan lingkungan oleh perubahan kawasan menjadi lokasi industri patut disoroti. Hal ini terlihat dari hilangnya hak suara masyarakat dalam menyatakan izin pendirian usaha dan peradilan (UU PPLH Pasal 38) yang digantikan oleh UU Cipta Kerja yang memberikan keleluasaan diskresi bagi pemerintah pusat dalam mengatur banyak hal, terutama yang terkait dengan investasi. Mulai dari penentuan tata ruang hingga pengenaan sanksi bagi mereka yang melanggar ketentuan dan memberikan dampak membahayakan dengan menggunakan keputusan pengadilan tata usaha negara.
Merespon hal tersebut Presiden Joko Widodo menanggapi terkait dampak lingkungan bukan maksud untuk mengabaikan melainkan pemerintah memang tengah fokus meningkatkan laju perekonomian yang sempat anjlok akibat pandemi global Covid-19. Hal tersebut diungkapkan melalui keterangan pers di kanal YouTube Sekertariat Presiden.Â
Presiden juga mengungkap alasan dibalik penerbitan Omnibus Law ialah untuk merevisi banyak undang-undang sekaligus membuka investasi serta pertumbuhan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Apa yang disampaikan presiden dalam keterangan pers tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwasannya pemerintah bukannya tidak paham mengenai dampak lingkungan melainkan pemerintah memang menutup mata dan telinga dari perspektif dampak lingkungan yang ditimbulkan dari adanya peraturan baru dalam UU Cipta Kerja demi perbaikan kondisi ekonomi. Gelagat pemerintah yang ingin memperbaiki kondisi ekonomi melalui kebijakan ini malah berpotensi menimbulkan masalah baru yang menyangkut kemanusiaan. Alhasil UU Cipta Kerja yang telah ditetapkan ini justru berat sebelah.
Setelah menuai perdebatan yang panjang dan melibatkan banyak ahli dari berbagai bidang yang memberikan pandangannya, maka dapat ditemukan banyak kekeliruan yang terkandung di dalam UU Cipta Kerja ini.Â
Munculnya perdebatan pasca pengesahan UU Cipta Kerja ini, membawa kita kembali pada tahun 1992 yang mana pada tahun tersebut telah diselenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brasil.Â
Dilaksanakannya konferensi yang dihadiri 178 negara dan 2.400 perwakilan organisasi non pemerintah tersebut karena melihat keresahan dari pesatnya kegiatan industri  yang berdampak negatif pada rusaknya lingkungan. Konferensi ini sekaligus menjadi konferensi pertama yang membahas isu-isu lingkungan, kelangkaan air serta energi alternatif yang diwujudkan dengan upaya pembangunan berkelanjutan. Upaya tersebut yakni terdiri dari melindungi keanekaragaman hayati, melestarikan hutan, pengelolaan pemukiman manusia dan pencegahan perubahan iklim.Â
Pada KTT Bumi diperkenalkan jargon "Think Globaly, Act Locally" sebagai bentuk sosialisai mengenai pentingnya menjaga semangat kebersamaan antara upaya pembangunan oleh kelompok developmentalis dan upaya menjaga kelestarian lingkungan oleh environmentalis sehingga terbentuk sinergitas untuk menjaga bumi dari polusi dan kerusakan lingkungan. Dengan rangkaian buah pemikiran yang telah dipetakan sedemikian rupa lantas, mengapa kebijakan yang dirumuskan pemerintah masih abai terhadap pembangunan berkelanjutan yang lestari?
Meninjau persoalan lingkungan tentu akan mengajak kita meratapi kondisi ekonomi. Kerap kali kondisi seperti ini memaksa kita berhadapan pada pilihan untuk bersikap idealis atau pragmatis. Idealis dengan mempertahankan kelestarian lingkungan atau pragmatis dengan melihat realitas depan mata yang menunjukkan jatuhnya perekonomian hingga kemiskinan.Â
Sementara itu menempatkan keadilan diantara ekonomi dan ekologi sekilas terdengar tidak masuk akal. Hal ini dikarenakan adanya dalil dari ekonomi tradisional yang berfokus pada pengeluaran ekonomi saja atau transaksi antar pembeli dan penjual. Pola ekonomi tradisional tersebut menyebabkan adanya kesalahpahaman pengertian antara ekonomi dan lingkungan yang tidak dapat berjalan secara bersamaan di mana artinya mendapatkan salah satu berarti harus merelakan yang lain.Â
Untuk mengoreksi kesalahpahaman tersebut maka pada tahun 1987 terdapat sebuah istilah yang diperkenalkan yaitu Pembangunan Berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan ini mengajak kita untuk melihat dari perspektif yang lebih luas melalui keterkaitan antara tujuan lingkungan, ekonomi, dan sosial yang harus dicapai secara bersama-sama.
Elim Salim, menyebutkan konsep pembangunan berkelanjutan adalah suatu proses yang mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alam serta sumber daya manusia dengan menyerasikan keduanya dalam pembangun. Keselarasan hasil yang diberikan ekologi akan tercapai bila hakekat keadilan yang diterima itu seimbang dengan apa yang diambil.Â
Hakekat keadilan ekologis yang tereduksi akibat disahkannya UU Cipta Kerja mengakibatkan konsep pembangunan berkelanjutan atau suistainable development yang telah disepakati dalam Suistainable Development Goals (SDGs) seolah tertinggal jauh. Penegakkan dalam sistem hukum lingkungan memerlukan salah satu unsur penegakkan hukum yaitu, keadilan.Â
Collin melihat keadilan lingkungan erat kaitannya dengan distribusi hak dan manfaat lingkungan secara adil diantara ras, kelas dan pendapatan masyarakat (Collin, 2008:414). Di tengah ancaman pemanasan global dan krisis iklim aspek lingkungan menjadi tumpuan dan pintu masuk dalam pembangunan. Tak jarang hutan ditebang dan dikonversi karena memberikan nilai tambah yang besar dibandingkan hanya dibiarkan tumbuh liar.Â
Hal ini menyebabkan kegiatan-kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan  sulit untuk diaplikasikan. Sementara itu, bisnis dunia yang memakai prinsip-prinsip lingkungan agar memacu ekonomi tak menimbulkan dampak bagi bencana lingkungan mempunyai biaya ongkos yang jauh lebih mahal ketimbang harga ekonomi dan kemajuan sehingga kegiatan ekonomi yang tak ramah lingkungan ini justru mendapat tempat dominan dalam memenuhi kebutuhan dan menyumbang anggaran kepada negara sehingga bukan suatu hal yang baru apabila situasi politik kita dicampuri dengan kepentingan semata. Keberpihakan pemerintah pada industri ekstraktif yang menjadi pemain dominan dalam sistem ekonomi kerap kali hadir dalam perumusan kebijakan di negara kita.
Disamping itu kegagalan dalam komunikasi kerap kali terjadi karena para pelaksana kebijakan tak bisa mendelegasikan aturan tentang keberlanjutan kepada masyarakat. Keterlibatan masyarakat pun menjadi rendah dalam pembuatan kebijakan. Akibatnya, kebijakan menjadi tertutup dari masukan-masukan dan suara publik yang terpapar langsung pembangunan yang tak lestari. Buntut dari kegagalan ini adalah tumbuhnya oposisi dan merosotnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada negara.
Indonesia dengan potensi kekayan alamnya sudah mendapat previllage sendiri seharusnya dapat akses kemudahan dalam mencapai tujuan keselarasan kologi dengan pembangunan berkelanjutan. Namun pandangan mengenai ekonomi yang tidak dapat berjalan selaras dengan lingkungan ini lah yang harus dibenahi bersama. Dengan adanya konsep pembangunan berkelanjutan sudah seharusnya turut disertai dengan evaluasi bersama. . Bersamaan dengan itu, perlu dipahami pandangan ontologis  sebagai padanan yang tak terpisahkan antara kehidupan dan lingkungan atau lingkungan dan makhluk hidup yang terkait dan memiliki kedudukan yang setara satu sama lain.
Oleh karena itu, pengambilan keputusan yang dinilai hanya melihat dari perspektif ekonomi ini tidak mencerminkan hakikat dari keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang tercantum dalam sila ke lima Pancasila. Hakikat keadilan mengkaji pentingnya suatu hukum yang ditetapkan memiliki hubungan yang sistematis dengan peraturan hukum yang lainnya. Meski demikian, adanya dasar-dasar dalam pembuatan suatu kebijakan tetap harus ditinjau dari  aspek pertimbangan dalam pembuatan kebijakan tersebut.Â
Dasar-dasar tersebut pun hendaknya ditinjau dari berbagai substansi. Dalam hal lingkungan, sistem hukum lingkungan memerlukan keadilan yang menjadi landasan dalam penetapan kebijakan. Keadilan lingkungan ini diidentifikasi melalui lima elemen dasar yang meliputi hak individu untuk dilindungi dari pencemaran, preferensi terhadap pencegahan pencemaran, beralihnya beban pembuktian pada mereka atau mereka yang membuang limbah emisi, dan perbedaan pembagian risiko diatasi dengan tindakan dan sumber daya yang tertarget (targeted action and resources) (Bullard, 1994;10).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H