Aku pernah merasa ingin sekali membahagiakan seseorang. Bukan hanya menjadi bagian bahagianya saja. Aku ingin menjadi alasan dia menginginkan umur yang panjang, aku ingin menjadi alasan dia menginginkan waktu yang lebih banyak. Saat bersamanya, aku mengeluarkan sisi terbaik dari diriku. Mencoba membahagiakan dirinya dengan cara apapun. Karena aku tahu, hidupnya rumit. Hatinya kesepian, harinya berantakan.
aku datang sebagai obat, tapi ternyata dia terlalu takut untuk sembuh.
"obat terlalu pahit untuk dirasa," katanya
"karena yang manis itu hanya janji," sahutku
Mungkin menurut kalian aku terlalu nekat, aku terlalu membuang-buang waktu untuknya. Kalian salah. Nyatanya, membahagiakan dirinya adalah kebahagiaanku. Sekarang kalian boleh bilang kalau aku sudah berlebihan. Tapi pada kenyataannya dia pantas untuk dilebihkan, dia pantas mendapat perasaan yang sebegitunya.
Tidak, dia bukan superhero. Aku juga tidak sedang berhutang padanya hingga aku ingin membayar hutang dengan cara membahagiakannya. Dia adalah penyelamat bagiku. Disaat aku sudah menyerah tentang mimpi, disaat aku sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa hanya agar hidupku tidak sia-sia.
Ini semua berawal dari pertemuanku dengannya di acara seminar yang bertema "cara membahagiakan diri sendiri." Saat itu aku menjadi peserta yang datang paling akhir. Dan tidak ada kursi yang tersisa kecuali di sudut ruangan, jauh dari panggung seminar. Dengan terpaksa karena aku sudah membayar sebesar Rp. 50.000 hanya untuk mengikuti seminar ini, akhirnya aku duduk disana. Sendirian. Dan tentu saja terlihat menyedihkan.Â
Seminar sudah berjalan selama 30 menit, dan di menit ke 31 dia datang. Laki-laki dengan pakaian paling rapi yang pernah kutemui. Dia memakai pakaian formal, kemeja berwarna maroon dan celana kain panjang berwarna hitam. Oh jangan lupakan rambut hitamnya yang sudah ditata sedemikian rupa.
Kukira dia salah satu panitia atau mungkin saja dia adalah teman dari pemateri seminar. Dengan tidak sadar, aku mengawasi gerak-geriknya semenjak dia masuk ke dalam gedung ini. Sampai pada akhirnya aku melihat dia berjalan ke arahku dan duduk di sebelahku. Eh, disebelahku? Aku hanya diam saja, pura-pura tidak tertarik dengan kehadirannya.
"telat juga?" aku mendengar seseorang berbicara. Aku celingukan
"hei, iyaa aku yang ngomong. Kamu telat juga?" oo ternyata laki-laki di sebelahku sedang mengajak aku berbicara. Aku hanya mengangguk.