Lautan Indonesia mengandung banyak sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan melalui industri penambangan dan pemurnian hasil pertambangan. Namun risiko dari kedua industri ini adalah limbah yang dihasilkannya yang dapat memiliki dampak negatif pada lingkungannya. Dampak negatif ini dapat mempengaruhi sumber penghidupan orang.
Dampak negatif tersebut muncul dengan jelas pada industri pertambangan timah lepas laut. Penambangan timah lepas laut dilakukan dengan mengebor deposit-deposit bijih timah yang ada di dasar laut. Penambangan timah lepas laut menyebabkan sedimen-sedimen dari deposit-deposit yang dibor terlempar keluar ke lautan. Sedimen-sedimen tersebut akan mengenai, bahkan hingga mengubur, terumbu-terumbu karang.Â
Efek dari aktivitas ini menyebabkan terumbu karang mati dan tidak dapat digunakan oleh ikan-ikan sebagai habitat. Ketika ikan-ikan tersebut tidak memiliki habitat, ikan-ikan tersebut akan berpindah mencari habitat yang baru atau tidak dapat bereproduksi karena habitatnya yang hilang. Dengan demikian, penambangan timah lepas laut memiliki dampak negatif pada ekologi laut.Â
Salah satu kasus kerusakan ekologi ini adalah bagaimana terjadi penambangan timah apung lepas laut di Laut Sukadamai Toboali, Bangka Selatan. Kerusakan-kerusakan ekologis tersebut terjadi dan bahkan tanpa sepengetahuan PT Timah yang mengoperasikan mesin-mesin penambang timah di area tersebut.
Kasus ini merupakan kasus kelalaian pada perusahaan besar yang menyebabkan dampak yang sangat besar pada pekerjaan para nelayan. Dengan ikan-ikan tidak memiliki habitat lagi, nelayan-nelayan di area tersebut harus mencari ikan di tempat-tempat yang semakin jauh dari pelabuhan dimana perahu nelayan berlabuh. Sedangkan, nelayan juga memiliki batasan-batasan yang tidak boleh dilebihi dalam area yang digunakan untuk aktivitas perikanan yang diatur dalam PP No. 27 Tahun 2021.
Tanpa sumber penghidupan yang berasal dari laut, para nelayan terpaksa untuk mencari nafkah lainnya. Para nelayan tidak diberikan uang untuk menggantikan ruginya dari ketidakmampuan para nelayan untuk menangkap ikan dekat situs penambangan timah. Kondisi ini tidak sesuai dengan hak-hak yang dimiliki para nelayan tersebut untuk mendapatkan perlindungan dan ganti rugi dari pengangguran karena dampak industri.
Timah
Timah merupakan salah satu produk mineral tambangan paling unggul yang dihasilkan oleh Indonesia. Indonesia menghasilkan jumlah timah mentah terbesar di dunia pada tahun 2006 dengan jumlah 117.500 ton timah mentah. Pada tahun yang sama dari jumlah tersebut, PT Timah menghasilkan 44.689 ton. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika orang-orang yang terlibat dalam proses pengeboran timah menyampingkan hak-hak orang lain demi keuntungan yang sangat besar.
Penambangan timah di Indonesia berawal dari pemerintahan kolonial Belanda yang menggunakan keuntungan yang diperoleh dari penambangan timah untuk menutup kas negara yang semakin berkurang akibat perang. Pada zaman kolonial Belanda, penambangan timah di Hindia Belanda diatur oleh perusahaan Banka Tinwinning Bedrijf. Pada tahun 1976, perusahaan ini diambil alih, diubah namanya menjadi PT Timah, dan dikelola oleh pemerintahan Indonesia dengan dasar hukum PERPU No. 1 Tahun 1969 dan PERPU No. 19 Tahun 1960.Â
Daerah-daerah penambangan serta perizinan diatur dalam PP No. 22 Tahun 2010. Menurut peraturan tersebut, untuk menambang diperlukan izin menambang sebelum aktivitas penambangan di suatu wilayah dimulai. Izin menambang tersebut hanya dapat disetujui dengan persetujuan dari petugas yang tepat dan peninjauan wilayah yang ditambang. Peninjauan wilayah tersebut meninjau letak geografis, kaidah konservasi, daya dukung lingkungan, optimalisasi sumber daya mineral dan/atau batubara, dan tingkat kepadatan penduduk.
Kasus ini merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi karena kelalaian industrial. Kasus pelanggaran HAM ini melanggar artikel 23 dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin bahwa setiap orang berhak memiliki pekerjaan dan berhak untuk mendapatkan perlindungan dari pengangguran.Â
Kebutuhan Negara
Akar dari masalah ini dapat ditemukan padai zaman pemerintahan Orde Baru. Perubahan kepemilikan perusahaan Timah membawa perubahan-perubahan kebijakan yang tergantung dengan keuangan dan kondisi pemerintahan yang terfokus pada pembangunan. Pada masa itu, Indonesia membutuhkan dana yang besar untuk mengadakan pembangunan luar biasa  yang direncanakan oleh pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat dibuat dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan terbesar. Peraturan mengenai penambangan yang lebih ketat baru muncul pada zaman Reformasi.
Pada tahun 2019, keuntungan dari ekspor hasil penambangan lebih besar daripada ekspor perikanan. Hal ini menyebabkan pemerintahan Indonesia mengutamakan penambangan mineral-mineral yang berharga dibandingkan perikanan. Keuntungan yang lebih besar dari pertambangan lebih berguna untuk membangun ekonomi Indonesia dan membayar perutangan negara daripada kegiatan perikanan yang hanya menunjang komunitas tertentu. Namun, daerah tertentu masih harus disisihkan untuk kegiatan perekonomian masyarakat seperti perikanan.
Tanggapan Pemerintahan
Dalam menghindari permasalahan seperti ini, salah satu kebijakan yang sudah dilaksanakan dengan baik oleh pemerintahan Indonesia mengenai masalah ini adalah untuk mengharuskan pembaharuan izin dengan peninjauan ulang setiap 5 tahun. Peninjauan ulang ini membantu menghindari masalah-masalah seperti ini karena memaksa perusahaan untuk mengecek ulang kondisi-kondisi dan masalah-masalah yang mungkin timbul akibat aktivitas pertambangan yang dilaksanakan.Â
Namun solusi yang lebih permanen untuk masalah ini adalah untuk mempertegas peraturan-peraturan mengenai batas-batas pertambangan, perikanan, dan kegiatan ekonomi lainnya. Pemerintahan juga dapat membuat cara-cara untuk memastikan batasan-batasan tersebut dilindungi dengan cara menegakkan patroli pada tempat-tempat ditemui banyak tambang dan daerah perikanan.Â
Patroli-patroli seperti ini tidak efektif karena terjadinya korupsi dan luasnya daerah penambangan di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya Indonesia menggunakan devisa yang diperoleh dari ekspor minyak dan gas alam untuk membangun atau membeli teknologi yang dibutuhkan untuk memastikan daerah penambangan timah seperti gambar satelit.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H