Mohon tunggu...
Tsania Zakiyyatun Nisa
Tsania Zakiyyatun Nisa Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

saya suka mencoba hal hal yang baru

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Prinsip-Prinsip Perkawinan

14 Februari 2024   03:50 Diperbarui: 14 Februari 2024   03:59 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Analisis Hukum Perdata Islam Di Indonesia oleh Tsania Zakiyyatun Nisa' 

Asas sukarela, dalam pasal 1 uu no 1 tahun 1974 tentang perkawinan dijelaskn bahwa perkawinan adalah ikatan batin antara seorang pria dan wanita sebagai pasangan suami istri yg memiliki tujuan hidup bersama. Sehubung dgn hal trsebut perkawinan dilaksanakan atas dasar persetujuan antara dua mempelai dan dua keluarga yang nantinya akan mejadi kesatuan keluarga yg tercipta atas pasangan trsebut. Untuk mewujudkan keluarga yg bahagia, nyaman dan penuh kasih sayangg nantinya maka perlunya kedua mempelai saling mengenal terlebh dahulu dan kedua orangtuanya tidak boleh memaksakan anak-anaknya untuk menikah jika anaknya belum siap, atau menikah dengan yg tidak dicintainya. Asas sukarela ini sangat diperlukan sebelum bahtera keluarga dibangun, jika melakukan perkawinan atas dasar paksaan

Asas partisipati keluarga, sebelum terlaksananya acara perkawinan maka calon mempelai wanita perlu dipinang dahulu. Maka, dalam acara peminangan dan acara pernikahan diperlukan partispasi keluarga. Biasanya dalam masyarakat jawa tengah, jika ada pernikahan maka keluarga mempelai baik keluarga inti, keluarga besar dan tetangga-tetangga saling berbondong-bondong untuk membantu terlaksananya acara tersebut.

Perceraian di persulit, sebelum adanya uu pasal 1 no 1 tahun 1974 hak cerai sepenuhnya hanya berada di tangan suami yang pelaksaannya dilakukan dengan semaunya. Jelas hal ini sangat merugikan bagi istri karena jika dalam pernikahannya dia tidak diperhatikan hak-haknya sebagai istri dan untuk anak-ananknya (menderita dalam pernikahannya) dia tidak bisa mengajukan cerai terhdap suaminya. Namun, sekarang sudah berbeda, baik suami maupun istri telah diberi hak masing-masing untuk mengajukan cerai ke pengadilan. Putusan pengajuan perceraian ini tidaklah mudah, harus didasari dengan alasan yang sangat jelas antar suami istri tentang apa yang menyebabkan mereka ingin bercerai.

Poligami dibatasi dengan ketat, uu perkawinan ini bersifat bahwa perkawinan itu monogamy, namun beristri lebih dari satu juga dibenarkan asal tidak bertentangan dengan hukum agama yg di anutnya. Memiliki istri lebih dari satu dibenarkan menurut uu asalkan dapat memenuhi apa yang telah ditetapkan oleh uu. Tetapi, dalam pasal 4 dan 5 uu no 1 th 1974 dijelaskna bahwa seorang pria yg bermaksud untuk memiliki istri lebih dari satu memiliki alasan-alasan seperti : istri tdk dpt menjalankan kewajibannya, istri terdapat cacat badan atau mempunyai penyakit yg tdk bisa disembuhkan, dsb. Jika alasan-alasan diatas terpenuhi maka pengadilan agama harus meneliti secara kumulatif. Pelaksanaan poligami tanpa dibatasi oleh peraturan yg membatasinya scra ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yg bersifat negative untuk berlangsungnya rumah tangga.

Kematangan calon mempelai, adanya pembatasan umur pernikahan baik bagi pria maupun wanita diharapkan lajunya kelahiran dpt ditekan seminimal mungkin. Usia yang belum matang atau memenuhi usia perkawinan yang ideal ditakutkan akan melahirkan problem-problem didalam rumah tangganya.

Memperbaiki derajat kaum wanita,wanita dicap sebagai orang yg lemah, maka wanita biasanya mendapat perlakuan yang lebih khusus di banding laki-laki. dalam rumah tangga istri menjadi pilar bertahannya sebuah istana. Namun tak jarang wanita diluaran sana diperlakukan dengan semena-mena karena dia lemah. Jadi pernikahan juga sebagai wujud menjaganya wanita dengan baik dan terhormat tentunya memperbaiki derajat seorang wanita yang biasanya dianggap rendah hanya karena dia lemah.

Asas Pencatatan Perkawinan, Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam, maka perkawinan telah tercatat secara yuridis normatif berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan mempunyai kekuatan hukum berdasarkan Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Perkawinan yang tidak dicatatkan akan merugikan kepentingan dan mengancam pemenuhan, perlindungan dan penegakan hak anak. Sebagai peristiwa hukum, perkawinan tentu berkorelasi langsung dengan anak-anak yang dilahirkan. Baik menyangkut hukum keluarga maupun hak-hak anak yang dijamin sebagai hak asasi manusia.Untuk menghindari hal itu, maka pencatatan perkawinan sebagai elemen penyempurnaan dari suatu perkawinan adalah wajib

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun