Hidup segan mati tak mau, setidaknya itulah yang bisa diibaratkan kepada kondisi pelaku UMKM di tengah pandemi Covid-19 saat ini. Penularan virus corona yang demikian cepat dan masif telah memaksa pemerintah menerapkan berbagai peraturan untuk mencegah penyebaran virus , dan tentunya berdampak mematikan berbagai aktivitas bisnis pelaku UMKM.
Pemerintah menyadari bahwa kebijakan seperti PSBB dan PPKM memiliki dampak yang begitu besar terhadap perekonomian. Namun, pemerintah harus memutuskan pilihan, antara kepentingan ekonomi atau keselamatan warga negara. Sudah pasti dengan penuh perhitungan dan konsekuensi risikonya, keselamatan warga negara adalah di atas segala-galanya.
Kebijakan PSBB dan PPKM tidak hanya membatasi aktivitas usaha para pelaku UMKM, tetapi juga hampir semua bidang usaha, baik skala besar, bahkan pekerja nonformal terdampak dengan kebijakan ini. Sektor usaha skala menengah dan besar di bidang pariwisata beserta turunannya seperti hotel, restoran, kafe, travel, pusat hiburan dan transportasi sejak sekitar satu tahun lalu sudah mengalami tekanan usaha yang sangat berat.
Berkaca pada krisis moneter 1998 dan krisis keuangan global 2008, tatkala perusahaan-perusahaan skala besar banyak yang tumbang, sebaliknya sektor UMKM tampil sebagai penyelamat dan penopang perekonomian nasional. Ketangguhan UMKM menjadi modal utama, membawa perekonomian nasional selamat dari krisis dan perlahan tapi pasti perekonomian kita dapat pulih kembali. UMKM saat itu mampu menggerakkan ekonomi akar rumput dan menjaga daya beli masyarakat. Namun, kini kondisinya jauh beberda kala pandemi Covid-19 melanda negara kita. UMKM tak lagi tangguh, lumpuh, tidak dapat lagi diandalkan sebagai penopang perekonomian bangsa. Pangsa pasar yang dimilikinya, berupa kebutuhan masyarakat sehari-hari, baik sandang maupun pangan, menyempit.
Dalam ruang gerak yang sudah teramat sempit, aneka produk yang disiapkannya tidak menjadi transaksi yang mampu menggerakkan ekonomi dan perputaran uang.
Sekalipun masih ada yang dapat bertahan, seperti para pedagang pasar yang menjual aneka pokok pangan dan yang beralih menjual Alat Pelindung Diri (APD), namun hanya sebagian kecil dari puluhan juta para UMKM.
Profil UMKM di Indonesia terdiri atas tiga kluster besar, yaitu kluster produsen, usaha dagang, dan jasa. Produsen umumnya memproduksi aneka makanan dan minuman seperti tahu, tempe, kue basah, bakso, mie, sirop, dll. Termasuk aneka sandang seperti pakaian/batik, tas, sepatu, kerajinan/souvenir, mebel, percetakan dan industri kreatif.
Usaha dagang mencakup pedagang kaki lima, restoran, kafe, catering, aneka warung, kuliner, toko pakaian/fashion, toko sembako, dll. Sedangkan usaha jasa (service business) seperti transportasi online, travel wisata dan umroh, kontraktor, pengadaan barang/ jasa, bengkel, logistik, salon, klinik, barbershop, event organizer, desain dan percetakan, dll.
Pangsa pasar dari kesemua bidang usaha UMKM tersebut akan sangat ditentukan oleh pergerakan manusia sebagai konsumen atau pelanggan. Semakin lama kebijakan bekerja dari rumah (work from home), maka nasib usaha UMKM semakin tidak pasti, bahkan yang masih bertahan perlahan akan menyusul menutup usahanya.
Dengan kondisi ini, UMKM praktis tidak memiliki kontribusi dalam menjaga pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Berbanding terbalik dengan kondisi di kala normal, di mana UMKM menyumbang 60% produk domestik bruto (PDB) secara nasional dan pertumbuhan ekonomi yang ditopang dari konsumsi rumah tangga dominan digerakkan sektor ini. Termasuk sumbangsihnya terhadap penyerapan tenaga kerja yang mencapai 96% dari 133 juta angkatan kerja secara nasional serta menyumbang 14% dari total ekspor.
Walaupun selama ini pelaku UMKM masih kurang perhatian pemerintah dari sisi pembinaan, pemberdayaan dan pengembangan, namun realitasnya peran UMKM dalam menopang perekonomian nasional tidaklah bisa dipandang sebela mata.
Sampai saat ini belum ada yang memastikan kapan pandemic Covid-19 ini akan berakhir. Dampak Covid-19 ini memang teramat sulit bagi UMKM, bahkan bisa digolongkan sebagai kejadian luar biasa yang sulit diprediksi sebelumnya. Sangatlah ironis kondisi yang dialami UMKM saat ini, yang harus menanggung ketirnya usaha akibat Covid-19.
Pelaku UMKM mengapresiasi stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah, yang salah satunya menyasar UMKM. Adanya keringanan pembanyaran cicilan pokok dan bunga pinjaman, penundaan cicilan kendaraan baik berupa motor, mobil, perahu bagi nelayan, bahkan rumah, tentu dapat meringankan beban pelaku UMKM. Harapannya, stimulus atau relaksasi pemerintah ini benar-benar direalisasikan di lapangan. Namun, perlu kiranya pemerintah juga perlu mengkaji stimulus tambahan yang lebih luas.
Dari pemerintah daerah, misalnya keringanan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang dipergunanakan untuk usaha transportasi umum, keringanan pajak hotel dan restoran, serta pajak hiburan, termasuk sewa kios para pedagang pasar. Usulan ini sangat perlu dipertimbangkan oleh pemerintah daerah sebagai salah satu upaya agar UMKM yang masih beroperasi mampu bertahan.
Atau mungkin stimulus lainnya yang kesemuanya agar UMKM mampu bertahan dan tidak putus asa sambil menunggu badai Covid-19 cepat berlalu. Dalam masa sulit seperti ini UMKM jangan dibiarkan jalan sendiri. Saatnya pemerintah memikirkan dari berbagai aspek nasib 64 juta pelaku UMKM yang selama ini menjadi roda penggerak konsumsi rumah tangga dan kekuatan perekonomian nasional. Kementerian Koperasi dan UMKM, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pedagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwasata, Â Perhubungan, Kementerian Keuangan, Kementerian Desa, serta instansi terkait lainnya sudah saatnya melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi UMKM sesuai bidang usaha masing-masing untuk selanjutnya diberikan jalan keluarnya.
Pelaku UMKM yang sudah terpaksa tutup harus dicarikan solusi bagaimana agar mereka aktif dan bangkit kembali sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Pembahasan RUU Cipta Kerja, khususnya kluster UKMK yang saat ini sedang dibahas di tingkat Baleg DPR RI harus dikawal dan diberikan masukan yang komprehensif dan mendasar akan kelemahan UMKM selama ini. RUU Cipta Kerja menjadi tumpuan harapan pelaku UMKM untuk menatap masa depan yang lebih cemerlang pascaCovid-19.
Kelemahan UMKM selama ini dari aspek kemudahan perizinan, permodalan, kemitraan, pemasaran, kewajiban memakai produk UMKM, sertifikasi halal, kuota lahan khusus, skala upah minimum khusus UMKM.
Selain itu, administrasi perpajakan, kemudahan HAKI, tenaga pendamping, proyek yang bersumber dari APBN/APBD untuk UMKM, serta penguatan SDM melalui pelatihan yang rutin kepada para pelaku UMKM. Hendaknya penanganan kelemahan-kelemahan itu dapat diakomodir dalam RUU Cipta Kerja.
Penguatan UMKM dalam RUU Cipta Kerja menjadi modal besar setelah Covid-19 berakhir. Pelaku UMKM dapat berlari kencang mewarnai aktivitas bisnis di Tanah Air dan menjadi penopang dan kekuatan perekonomian bangsa.
Selanjutnya Pemerintah menetapkan bulan Juni sebagai masa transisi menuju new normal. Pelaku usaha tentu merespons positif kebijakan ini. Dalam masa transisi ini sudah diberikan kelonggaran, di mana berbagai sektor usaha sudah bisa beroperasi dengan mengacu pada protokol kesehatan. Perkantoran, industri, rumah makan dan pertokoan yang bukan merupakan bagian dari mall/pusat perdagangan, serta usaha UMKM lainnya sudah dapat buka kembali dengan sistem ganjilgenap. Di mana toko yang nomor ganjil buka pada saat tanggal ganjil, dan sebaliknya. Sedangkan mall dan pusat perdagangan nonpangan yang selama ini tutup, akan dapat buka kembali tanggal 15 Juni 2020.
Ini adalah angin segar bagi pelaku usaha dan pekerja, di mana roda ekonomi mulai bisa berputar secara perlahan dan pekerja yang dirumahkan mulai aktif kembali. Para pengelola mall dan pusat perdagangan sekalipun mulai aktif tanggal 15 Juni, sedari sekarang sudah dapat memanfaatkan waktu ini untuk mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung protokol kesehatan dan konsolidasi internal mempersiapkan jam kerja karyawan serta standar protokol pelayanan kepada pengunjung. Pembukaan berbagai pusat perdagangan akan membuat perekonomin di Indonesia kembali menggeliat.
Dunia usaha prinsipnya akan siap melaksanakan kebijakan pemerintah yang telah memberikan kelonggaran dalam masa perpanjangan PSBB, tetapi tetap bersama-sama berikhtiar mematikan penularan Covid-19 sampai ke angka titik nol, sehingga kita dapat menuju ke kehidupan normal baru yang sesungguhnya. Komitmen pengusaha sangat jelas dalam hal ini, apapun kebijakan pemerintah akan siap dilaksanakan untuk kepastian berputarnya roda perekonomian.
Sebagai catatan akhir, pemerintah Provinsi DKI Jakarta meski memperketat pengawasan kedisiplinan penerapan protokol kesehatan pada masa PSBB transisi ini, untuk memastikan kurva penyebaran Covid-19 semakin menurun dan bisa memasuki fase kehidupan normal yang baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H