Mohon tunggu...
Tsamara Amany
Tsamara Amany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Universitas Paramadina | @TsamaraDKI on Twitter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Makna Hari Ibu Sesungguhnya

22 Desember 2015   15:34 Diperbarui: 22 Desember 2015   15:34 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemaknaan hari Ibu kini sudah berubah menjadi ucapan “Happy Mother’s Day” dan acara tukar kado. Hari Ibu kini dijadikan ajang ungkapan rasa cinta anak kepada Ibu. Hal ini terasa lucu karena ungkapan rasa cinta seorang anak seharusnya dilakukan setiap hari, bukan hanya pada hari-hari tertentu saja. Perayaan semacam ini juga sudah melupakan arti penting dan paling mendasar dari Hari Ibu, yaitu perjuangan hak perempuan dalam meraih kesetaraan.

Presiden Jokowi hari ini melalui akun Twitternya mengingatkan latar belakang lahirnya hari Ibu. “Tahukah Hari Ibu yang kita peringati ini dimulai dengan spirit melawan diskriminasi terhadap perempuan? – Jkw,” cuit @Jokowi. Melalui Twitter, Presiden juga menegaskan bahwa masalah diskriminasi perempuan tetap menjadi perhatiannya.

Membaca tweet Presiden Jokowi, langsung muncul dalam ingatan saya karya Bung Karno dalam Suluh Indonesia Muda 1928 yang berjudul “Kongres Kaum Ibu”. Dalam buku ini, Bung Karno memaknai “Ibu” sebagai kaum perempuan yang pada masa penjajahan masih hidup dalam diskriminasi dan ditekan oleh patriarkisme.

Dalam karya ini, Bung Karno tidak setuju jika agama Islam dijadikan alat agar kaum Ibu tidak dapat meraih kesetaraan gender dan tidak dapat ikut berjuang dengan kaum lelaki lainnya. “Bahwa agama Islam yang asli ialah tidak merendah-rendahkan derajat kaum Ibu, bahkan mempunyai orang-orang perempuan yang ternama dan termashyur seperti Dewi Fatimah yang sering ikut duduk berunding mengenai kekhalifahan,” kata Bung Karno.

Memang sungguh aneh jika budaya patriarki yang kini merajalela menggunakan Islam sebagai dalilnya untuk menindas kaum perempuan. Sebab dalam agama Islam perempuan dijunjung tinggi. Lihatlah Khadijah, istri Rasul, yang merupakan seorang pedagang hebat.

Perempuan adalah kaum yang setara dengan lelaki dan memiliki kemampuan yang setara pula. Sungguh aneh kaum lelaki yang menggunakan dalil agama sebagai pembenarannya. Lebih aneh lagi kaum perempuan yang justru merendahkan derajatnya dan menolak adanya emansipasi itu.

Definisi “Keperempuanan” yang terbatas pada urusan rumah tangga, merupakan konstruksi sosial semata. Apakah perempuan yang berjuang untuk bangsa dan negaranya telah meninggalkan “keperempuanan” tersebut? Tidak! Perempuan yang bekerja keras untuk kemajuan bangsa dan negaranya ialah perempuan yang sesungguhnya. Di peluk dan cinta kasih seorang perempuan, akan tumbuh seorang anak bernama Republik Indonesia.

Oleh karena itu, perjuangan meraih kesetaraan harus terus diperjuangan oleh kaum perempuan di seluruh Tanah Air. Dan semestinya pula, Hari Ibu ini diperingati sebagai hari di mana kaum perempuan bergerak meraih kesetaraan itu. Hal ini sesuai dengan Dekrit Presiden Sukarno no 316 tahun 1953 yang menganggap “Ibu” sebagai kaum pergerakan perempuan.

 

 

 

Tsamara Amany

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun