Mohon tunggu...
Tsamara Amany
Tsamara Amany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Universitas Paramadina | @TsamaraDKI on Twitter

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Membaca Kemarahan Presiden

8 Desember 2015   18:10 Diperbarui: 8 Desember 2015   18:33 4672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi menunjukkan kegeramannya atas tindakan Ketua DPR Setya Novanto yang mencatut namanya untuk meminta saham sebesar 11% kepada PT Freeport Indonesia. Presiden yang dikenal jarang marah itu akhirnya tak kuasa lagi menahan emosi akibat MKD memutuskan menutup sidang Setya Novanto. Hal ini berbeda dengan kedua sidang sebelumnya yang menghadirkan pengadu Menteri ESDM Sudirman Said dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoedin, yang digelar secara terbuka. 

"Proses yang berjalan di MKD harus kita hormati. Tetapi, tetapi, tidak boleh yang namanya lembaga negara itu dipermain-mainkan. Lembaga negara itu bisa kepresidenan, bisa lembaga negara yang lain," kata Jokowi sebagaimana dikutip detik.com (7/12). 

Jika menganalisa kata-kata Presiden ini, jelas sekali Presiden merasa ada lembaga negara yang dipermainkan. Apalagi jika mendengar kata-kata Presiden melalui televisi, penegasan kata 'tetapi' seolah membenarkan bahwa memang dirinya menolak jika ada pihak-pihak yang mencoba mempermainkan lembaga negara terutama lembaga Kepresidenan. 

Adanya kata-kata "menghargai proses MKD, tetapi tidak boleh lembaga negara dipermainkan" menimbulkan dua tafsir. Pertama, presiden kesal dengan sikap Setya Novanto yang membawa namanya sebagai Presiden dan hal tersebut merupakan bentuk pelecehan kepada lembaga kepresidenan dan lembaga negara lainnya (DPR). Kedua, Presiden menghargai proses MKD, namun merasa MKD telah mempermainkan lembaga Kepresidenan dengan menutup sidang Setya Novanto. 

Apapun itu kata-kata tersebut jelas mencerminkan sikap Presiden tidak selalu harus sejalan dengan keputusan MKD nantinya. Jika Presiden mengatakan bahwa "akan menghargai seluruh proses di MKD", maka apapun keputusan MKD akan diterima dan dihargai oleh Presiden. Namun dengan penegasan kata 'tetapi' menunjukkan bahwa meski pun Presiden menghargai MKD, dirinya tetap memiliki sikap tersendiri dalam kasus skandal papa minta saham. 

Presiden Jokowi tidak berhenti sampai di situ. Dirinya menunjukkan kekesalan karena dijadikan bahan cemooh dan dicatut untuk kepentingan pribadi Ketua DPR. "Saya enggak apa-apa dikatakan Presiden gila, Presiden sarap, Presiden koppig, nggak apa-apa. Tapi kalau sudah menyangkut wibawa, mencatut, meminta saham 11 persen, itu yang saya tidak mau. Nggak bisa!" tegasnya kepada detik.com (7/12).  

Memang Presiden mengatakan tidak apa-apa terhadap cemoohan tersebut. Namun mimik muka Presiden dan intonasinya yang kerap meninggi, menunjukkan bahwa sebenarnya ada apa-apa. Masalahnya, bukan orang biasa yang melakukan ini melainkan seorang Ketua lembaga tinggi negara yang seharusnya menjadi mitra Presiden. Mungkin dalam benaknya, Presiden merasa bahwa tidak pantas seorang dengan jabatan yang begitu tinggi mengatakan hal-hal demikian kepada pihak yang sedang diajak negosiasi (PT Freeport).  

Intonasi Presiden semakin meninggi ketika menyebut soal pencatutan nama dan meminta saham. Penyebutan "menyangkut wibawa" di sini sebenarnya menjelaskan kepada publik bahwa Presiden Jokowi merasa wibawanya telah diinjak-injak. Sebagai orang yang menjaga integritasnya, Presiden tampaknya sangat marah ada orang yang berani membawa-bawa namanya. Pada momen ini, Presiden menunjuk-nunjuk ke arah wartawan sebagai bentuk penegasan atas kemarahannya. 

[caption caption="Presiden Jokowi menunjuk-nunjuk ke arah wartawan"][/caption]Sebagaimana tadi dijelaskan, Presiden memiliki sikap tersendiri. Dan nampaknya, sikap tersebut sejalan dengan kebanyakan rakyat Indonesia, yaitu menganggap apa yang dilakukan Setya Novanto sangatlah tidak pantas dan melanggar etika. Hal ini tercermin dari ucapan Presiden Jokowi sebelum menyudahi keterangan persnya Senin kemarin (7/12), "Ini masalah kepatutan, masalah kepantasan, masalah etika, masalah moralitas, dan itu masalah wibawa Negara".

Setelah mengucap kata-kata tersebut, Presiden mengatakan "cukup" dan menolak menjawab pertanyaan lebih lanjut dari wartawan. Presiden meninggalkan wartawan dengan mimik muka yang sangat serius sembari menahan emosi. Sebenarnya hal ini dapat dinilai sebagai pesan non verbal Presiden, bahwa dirinya benar-benar marah tidak main-main lagi kali ini. 

Statement Presiden ini sebenarnya sudah mengubah peta peperangan di Republik ini, yang awalnya Sudirman Said vs Setya Novanto, kini menjadi Presiden Jokowi vs Setya Novanto. Posisi Presiden sebagai Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan menandakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia memprotes keras apa yang dilakukan oleh Setya Novanto. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun