Kedekatan Presiden Jokowi dengan Luhut Pandjaitan bukan lagi hal baru. Kedekatan antara keduanya membuat Wakil Presiden Jusuf Kalla dan PDIP terkadang merasa iri. Luhut memiliki kekuatan yang belum tentu dimiliki oleh menteri-menteri lain maupun pejabat tinggi negara lainnya, yaitu kepercayaan seorang Presiden Republik Indonesia.Â
Setelah sebelumnya gagal menjadi Menkopolhukam pada 29 Oktober 2014 lalu, Presiden Jokowi tidak membiarkan Luhut 'menganggur' begitu saja. Pada tanggal 31 Desember 2014, Presiden mengangkat Luhut sebagai Kepala Staf Presiden yang dibawahnya terdiri dari deputi-deputi yang akan membantu Presiden.Â
Batalnya pelantikan Budi Gunawan sebagai Kapolri, membuat Jokowi sempat dimusuhi oleh sejumlah partai pendukungnya sendiri. Kabarnya Wakil Presiden Jusuf Kalla justru bergabung dengan partai pendukung untuk mendesak Presiden Jokowi agar segera melantik Budi Gunawan. Sebagai orang Jawa tulen yang tidak suka main kasar, Jokowi memainkan strategi yang akhirnya menguntungkan Luhut.Â
Peraturan Presiden (Pepres) mengenai Kepala Staf Presiden pun dikeluarkan. Hebatnya, peraturan tersebut benar-benar memberi power bagi Luhut. Tugas Luhut sebagaimana tertuang dalam Perpres ialah memonitor kinerja menteri, memberi rapor menteri, bahkan dapat memanggil menteri yang notabene hanya bisa dilakukan oleh menteri koordinator dan Presiden/Wakil Presiden. Sejumlah pakar hukum tata negara menilai bahwa Perpres tersebut membuat posisi Luhut Pandjaitan setara dengan Wakil Presiden.Â
Wakil Presiden Jusuf Kalla pun tidak terima. Di depan media, Jusuf Kalla terlihat agak kesal dan marah. "Mungkin nanti koordinasi berlebihan kalau terlalu banyak, ada instansi lagi yang bisa mengkoordinasi pemerintahan, berlebihan nanti, kalau berlebihan bisa simpang siur," kata Jusuf Kalla sebagaimana dikutip kompas.com (4/3/2015).
Namun sebelum itu Presiden membantah bahwa tugas Luhut akan tumpang tindih dengan Jusuf Kalla. "Wapres itu tugasnya pengawasan. Jadi, tidak akan tumpang tindih. Pekerjaan banyak, kok, tumpang tindih. Pekerjaan bergunung-gunung. Nanti akan ada aturannya sendiri," katanya (kompas.com 2/3/2015).Â
Luhut semakin kuat ketika dirinya menggantikan Tedjo Edhi sebagai Menkopolhukam pada 2 September lalu. Meski sebagian orang tidak menyukai gaya menteri ini, tampaknya hal itu tidak mengubah kedekatan dirinya dengan Presiden Jokowi.Â
Namun bak petir di siang bolong, isi rekaman antara Setya Novanto, Reza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Maroef Sjamsoedin, dalam skandal 'Papa Minta Saham' akhirnya terbongkar. Dalam rekaman tersebut, nama Luhut disebut sebanyak 66 kali. Hal ini tentu membuat publik heran mengapa Setya Novanto kerap menyebut nama Menkopolhukam itu.Â
Bukan hanya publik yang heran, Presiden pun pasti kaget. Apalagi dalam rekaman tersebut, pengusaha Reza Chalid sempat mengatakan "ambilah 11%, kasih 9% ke Pak JK. Kalau ga gitu, ribut".Â
Isi rekaman tersebut memperlihatkan kedekatan Luhut dan Setya Novanto. Memang kabarnya keduanya dekat sejak lama. Akan tetapi, rekaman tersebut menunjukkan bahwa ada upaya memanfaatkan kedekatan Luhut dengan Presiden Jokowi agar mendapat keuntungan tertentu.Â
Presiden Jokowi telah memberi izin kepada Luhut Pandjaitan agar hadir dalam sidang MKD (7/11). Izin yang diberikan Presiden ini merupakan ajang pembuktian siapakah Luhut sebenarnya dan layakkah Luhut selama ini diberi kepercayaan yang begitu tinggi. Dalam sidang MKD yang digelar secara terbuka ini, rakyat dan Presiden sendiri akan menilai apakah Luhut memang benar terlibat dalam skandal ini.Â
Jika benar Luhut terlibat, mungkin saja Luhut tidak akan mendapat hukuman karena kurangnya bukti yang ada soal keterlibatan ini. Namun satu hal yang pasti, hubungan Luhut dan Presiden tidak akan sama lagi. Kepercayaan besar yang diberi oleh seorang Presiden telah ia salahgunakan.Â
Â
Â
Tsamara Amany
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas ParamadinaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H