Mohon tunggu...
Tsabita LuthfianaYasmin
Tsabita LuthfianaYasmin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Saya merupakan seorang mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Saya memiliki hobi traveling, membaca, dan memasak. Untuk saat ini, kesibukan saya hanya belajar dan menyelesaikan studi untuk menjadi dokter.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kasus Bullying Calon Dokter Spesialis di Indonesia

29 Mei 2023   22:29 Diperbarui: 29 Mei 2023   23:02 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kasus bullying di Indonesia sampai saat ini masih tergolong tinggi, termasuk juga dalam dunia pendidikan. Rasa senioritas yang tinggi terkadang memunculkan tindakan-tindakan yang kurang mengenakkan seperti bullying. Pada tahun 2022, KPAI melaporkan kasus bullying dengan kekerasan fisik dan mental sebanyak 226 kasus di lingkungan sekolah, termasuk 18 kasus bullying di dunia maya.


Sistem pendidikan kedokteran di Indonesia masih memiliki sejumlah kendala, terutama dalam hal senioritas. Terlebih lagi, dalam Program Pendidikan Dokter Spesilais (PPDS). PPDS adalah tahapan lanjut pendidikan seorang dokter untuk menjadi spesialis. Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dinilai sangat bergengsi di kalangan para dokter karena memerlukan biaya yang tidak sedikit serta memiliki seleksi yang terbilang cukup ketat. Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) hanya terdapat pada perguruan tinggi negeri. Oleh karenanya, lulusan dokter baik dari perguruan tinggi swasta maupun negeri berlomba-lomba untuk bisa lolos dalam seleksi PPDS.
Sayangnya, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para calon dokter spesialis, terutama saat menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Di tengah kurangnya jumlah dokter spesialis di Indonesia, para calon dokter spesialis malah justru kerap mengalami masalah perundungan atau biasa disebut bullying. Bahkan, ada yang sampai keluar dan tidak mau lagi melanjutkan pendidikan karena tidak tahan menjadi korban perundungan. Seorang dokter yang tidak ingin disebut namanya itu curhat karena mendapatkan kekerasan verbal dan psikis saat menjalani program PPDS. "Saya dokter umum dari Jawa, mantan residen, mantan mahasiswa PPDS, calon dokter spesialis, yang per tahun 2023 ini terpaksa mengundurkan diri dari PPDS karena saya mengalami kejadian bullying cukup parah dan terus menerus," curhatnya langsung ke Menteri Kesehatan, seperti yang disiarkan di YouTube @Asclepio Masterclass, dikutip detikcom Minggu (20/4/2023).


Saat menjalani program PPDS, ia mendapatkan permintaan dari senior yang wajib dituruti serta tidak jarang para residen disuruh menjemput seniornya jam dua pagi di bandara. Residen tersebut akhirnya memilih untuk berhenti menjalani program PPDS setelah dirinya juga disebut mengidap post-traumatic disorder. “Semua yang dikerjakan tidak mempertimbangkan jadwal tidur kita walaupun kita habis jaga lebih dari 24 jam, kita tetap harus nurut sama kakak kelas,” ucapnya.


Pengakuan karena mendapat perundungan juga diceritakan oleh seorang residen asal Sumatera Barat saat berbincang dengan Menteri Kesehatan. Dia tidak menyebutkan secara detail mengenai sikap bullying yang dimaksud tetapi menurutnya hal tersebut sudah terus berlanjut seakan menjadi ‘tradisi’ turun temurun. Kemenkes mengaku mendapat banyak laporan mengenai perundungan di kalangan residen, hanya saja tidak banyak di antara mereka yang memiliki keberanian untuk speak-up mengenai hal tersebut. "Mereka lebih banyak diam dan menerima perlakuan perundungan tersebut. Untuk itu kami mengusulkan adanya perlindungan dalam RUU Kesehatan," kata juru bicara Kementerian Kesehatan dr Mohammad Syahril dikutip dari laman Sehat Negeriku, Senin (1/5).
Untuk menindaklanjuti kejadian tersebut, Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) menyebut pasal anti-perundungan atau anti-bullying di RUU Kesehatan menjadi salah satu cara untuk menghentikan tindakan perundungan yang banyak terjadi di kalangan dokter yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Salah satu dokter menjelaskan bagaimana pentingnya mengeliminasi tindakan bullying agar sistem pendidikan para calon dokter spesialis dapat berjalan sesuai etika, meritokrasi, dan profesionalitas pada saat negara sedang krisis karena kurangnya jumlah dokter spesialis di Indonesia. "Kita harus mempermudah program pendidikan spesialis. Masuknya harus murah, tidak susah dan harus berdasarkan meritokrasi bukan karena "rekomendasi". Dan jika sudah masuk tidak mengalami hambatan-hambatan non-teknis," kata dr. Syahril.


Adapun pasal yang diusulkan terkait anti-perundungan tersebut tercantum dalam pasal 208E poin d yang berbunyi: "Peserta didik yang memberikan pelayanan kesehatan mendapat perlindungan dari kekerasan fisik, mental, dan perundungan. " Selain untuk peserta didik, anti-perundungan juga diterapkan untuk dokter dan tenaga kesehatan dimana dalam Pasal 282 ayat 2 berbunyi: "tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat menghentikan Pelayanan Kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai sosial budaya, termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan."
Dengan adanya pasal tersebut, semoga kedepannya para calon dokter spesialis di Indonesia dapat dihindarkan dengan kejadian-kejadian tidak mengenakkan seperti bullying.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun