Waktu terus berjalan, dan mereka pada akhirnya memasuki tahap pendekatan, deklarasi, dan pacaran.
Setelah pacaran udh lama, keahlian yang mereka pelajari mencapai titik maksimum. Dimana emang udh keabisan ide, gatau lagi gimana caranya ngetreat client yang sekarang jadi pacarnya ini. Singkat cerita, mereka berdua putus. Lalu galau, dan timbulah stress pada kedua pihak. Dan antara si cowo dan si cewe, bertekad
“Gua gaboleh milih cewe sembarangan, gua gaboleh ketipu sama rayuan gombal”,
atau arti terselubungnya...
“Gue harus lebih pinter bohong nih, lebih pinter ngebaca gerak gerik cowo/cewe biar bisa ngedeteksi kalo dia bohong”.
Dan mereka cari client lain, pendekatan, deklarasi, dan begitu seterusnya.
Jika pertemuan tadi ga sesuai emosi sebenarnya dan hanya menutupi kebohongan, lalu berlanjut menjadi masa pacaran, wajar ga sih hubungan kaya gitu bakal mudah memasuki fase “putus”? Emosi palsu, pendekatan juga palsu, bahkan sampai akhirpun palsu. Hari ini, itulah yang terjadi pada masyarakat kita. Masyarakat cerdas yang mampu memanipulasi emosinya, dan membuat cinta selalu ada, meski di luar kehendak Tuhan.
Tsa97
Agustus 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H