Mohon tunggu...
Tri Sutrisno Adri
Tri Sutrisno Adri Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Define Social.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ayo Kita Merokok!

30 Juli 2015   07:16 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:06 776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Pengalaman Empiris

Dari saya kecil sampai saya kuliah, meski himbauan Dilarang Merokok itu sering saya lihat, masih saja banyak orang yang saya temukan merokok. Bahkan semakin banyak. Begitu pula dengan musuh besarnya, iklan rokok. LA Mild, Black, Djarum, Apache, dan seterusnya. Ditempelkan di berbagai sudut warung, di reklame perkotaan, jadi sponsor setiap restoran, dan bahkan bikin event besar di kota. Apalagi iklannya kreatif, bahkan sangat kreatif. Seolah ada pesan tersirat kalo lo pake ini, lo bakal jadi pemberani.

Dibandingkan dengan himbauan pemerintah, tampak membosankan, monoton. Dari dulu pesannya itu – itu aja. Dilarang Merokok. Baru baru ini diupdate jadi Merokok Membunuhmu plus gambar paru – paru item. Ada sih perubahannya, namun tidak signifikan. Trus emang pernah pemerintah bikin event keren? Ngga pernah.

Dan sudah tau tidak efektif, masih saja dipasang. Bahkan, pemerintah menggelontorkan dana untuk memperbanyak pencetakan spanduk pamflet atau media lain sebagai sarana untuk menghimbau masyarakat. Bodoh sekali! Atau yang lebih ekstrem lagi, pemerintah menyediakan perlombaan untuk mendesain himbauan Dilarang merokok. Buat apa? Sekreatif – kreatifnya seorang desainer, pasti akan memilih bekerja di perusahaan rokok dengan nilai proyek besar.

Begitu juga dengan Narkoba, sejak dulu saya menemukan pamflet “Jauhi narkoba”. Ironisnya, saya semakin tertarik apabila mendengar kata narkoba. Dan kaget ketika menemukan teman yang ternyata pernah merasakan indahnya tripping, saya jadi ingin ikut mencoba. Untungnya tidak kesampean. Di masyarakat, seolah narkoba menjadi rahasia umum. Tak sulit kita menemukan penjual barang haram tersebut. Tahu itu dilarang, tapi tetap dilakukan.

Alkohol juga lebih parah. Seandainya pemerintah membuka matanya, liat deh, itu anak kecil beli bintang di warung buat bapaknya. Kalo dia liat bapaknya begitu, berpeluang besar di ikut minum juga. Jadi jangan heran kalo bocah kecil sekarang udah bersahabat dengan miras. Padahal jelas – jelas terpampang di label botolnya 21+.

Menurut beberapa buku yang saya baca, manusia memiliki keingintahuan yang sangat tinggi, terus berusaha mencari tahu tak peduli berapa umurnya. Dan jujur saja, termasuk saya, pasti penasaran tentang sesuatu yang dilarang. Kok dilarang sih? Emang bahaya ya? Coba dulu sekali gue mau liat.

 

Kerangka Berpikir

Kalau orang filsafat bilang, ada namanya Teori Berkebalikan. Negativisme. Relativitas. Paradox. Apapun itu namanya. Alam Semesta ini pada dasarnya selalu dihadapkan pada dualitas. Ada gelap, ada terang. Ada bagus, ada jelek. Ada tinggi, ada rendah. Pokoknya intinya, setiap penilaian yang baik, itu pasti ada karena ada penilaian yang sebaliknya. Buruk. Ada sisi yang bebanding terbalik. Saya juga bukan orang filsafat, jadi maaf kalo jelasinnya rada ga enak. Hehe.

Langsung get to the point aja. Dihubungkan dengan himbauan pemerintah tadi, kenapa kita ngga gunain sisi lain dari himbauan tersebut.

Contohnya :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun