Penulis :
Hj. Erlies Eriena SE, M.ag
Di dalam al-Quran, manusia dipandang sebagai makhluk termulia karena ia dibekali dengan kelebihan akal yang mempunyai fungsi berpikir dan menelaah serta bekerja sebagai penimbang kebenaran dan kesalahan. Akal ('aql) sebagai masdar (kata benda) berasal dari kata 'aqala yang terdapat dalam bentuk Fi'il mudhari (kata kerja) dalam al-Qur'an, seperti ta'qiln (al-Baqarah: 44); ya'qiln, (al-Furqon:44 dan Yasin: 68); na'qilu (al-Mulk: 10); ya'qiluna (al-Ankabut:43); aqalahu (al-Baqarah: 2). Disamping kata 'aqala, al-qur'an juga menyebutkan kata-kata dalam arti berpikir, seperti nazhara, tafakkara, fakiha, tadabbara, tazdakkara dan lainnya.
Keberadaan akal manusia dipergunakan untuk memahami ayat-ayat kauniyah dan Qur'aniyah. Surat al-Baqarah:164 merupakan pemahaman astronomi untuk mengetahui benda-benda langit dan fenomena alam seperti pergantian siang dan malam, bahtera yang berlayar di lautan, fungsi air yang menghidupkan bumi dan tanaman, kisaran angin dana awan, merupakan tanda-tanda bagi kaum yang menggunakan akal (l'aytil li qaumiy ya'qiln).
Cendikiawan muslim, Sayyed Hossein Nasr, menggambarkan kehidupan manusia yang digerakkan oleh tiga kekuatan pokok yang ada pada dirinya. Ketiga kekuatan pokok tersebut ialah akal, syahwat, dan nafsu. Jika ketiganya dapat diseimbangkan, maka hidup manusia akan menjadi normal.
Dalam buku "Islam and the Pligh of Modern Man" yang dikutip oleh Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa akibat masyarakat modern yang mendewa-dewakan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan mereka berada dalam wilayah pinggiran eksistensinya sendiri. Adapun pemahaman agama yang berdasarkan wahyu, mereka tinggalkan dan hidup dalam keadaan sekuler.
Ketika manusia bisa mencapai kesadaran dan kecerdasan spiritual yang tinggi, maka manusia tersebut akan memiliki visi Ilahi, yaitu kemampuan memaknai segala sesuatu sebagai refleksi keberadaan Tuhan.
Manakala manusia mampu memaknai segala sesuatu sebagai manifestasi keberadaan Tuhan, maka ia akan menjadi manusia yang selalu positive thinking dan positive feeling. Dalam perspektif teologis, masalah ketuhanan menjadi dasar keimanan dan keyakinan umat beragama. Melalui wahyu yang diberikan Tuhan, manusia dapat mengenal Tuhan; manusia mengetahui cara beribadah; dan cara memuji dan mengagungkan Tuhan.
Peradaban modern yang dibangun oleh premis positivism empirisme membawa konsekuensi pada penolakan realitas yang berada di luar jangkauan indra dan rasio. Realitas simbolik dan metafisik seperti Tuhan dianggap sebagai realitas semu sebagai hasil dari evolusi realitas materi.
Dengan kata lain, epistemologi modernitas telah menggeser realitas Ilahi sebagai fokus bagi kesatuan dan arti kehidupan. Penggeseraan realitas Ilahi tersebut ditandai dengan peminggiran aspek rohani yang pada muaranya. menghilangkan dimensi paling asasi dari eksistensi dirinya, yaitu spiritualitas.
Sebetulnya sikap mematuhi agama bukan saja mencakup hubungan manusia dengan Tuhannya. Akan tetapi mencakup hubungan manusia dengan sesamanya (Hablum minallah hablum minannas).
Pembuktian tentang keberadaan Tuhan mengacu kepada rahasia-rahasia fenomena yang terjadi di alam semesta. Fenomena yang terjadi di alam semesta ini dari makhluk yang terkecil sampai alam yang membentang luas, semuanya menyingkapkan rahasia akan keberadaan Tuhan. Oleh karenanya, peran Tuhan dalam pembentukan iman terletak pada karunia-Nya berupa akal dan potensi kebertuhanan yang disebut dengan roh. Karena adanya akal dan roh inilah, manusia mempunyapi potensi keimanan kepada Allah.
Metodologi sains yang bertujuan memahami, mengerti menjelaskan dan memprediksi fenomena alam, dengan cara memahami tehnik eksperimen dan pengamatan (empiris) serta merekontruksikan sebuah teori rahasia alam, sehingga manusia dapat mengambil manfaat dan pemahaman terhadap isi alam semesta.
Posisi benda langit, seperti planet, bulan, matahari dan yang biasa dipergunakan untuk meramal nasip dan masa depan, disebut dengan astrologi. Al-Qur'an surat al-Imran ayat 190-191, mengubah pandangan tentang ilmu astrologi ini menjadi astronomi dan mengajak manusia untuk senantiasa berzikir pada Allah Swt dan memahami penciptaan alam semesta ini yang semuanya merupakan bukti dari kekuasaan Allah, sang Maha Pencipta.
Meminjam kata 'memahami' menurut teolog Schleiermacher merupakan suatu proses konignif atau dalam istilah filsafat adalah suatu proses epistemologis. Akal kita menangkap sesuatu dan kita dapat mengungkapkan apa yang kita tangkap lewat bahasa. Memahami mengandalkan keterlibatan pribadi dan tidak bisa dijangkau dengan berjarak, sebab ada dimensi personal dan interpersonal yang dibawa oleh pemahaman, sebab memahami bukan bertujuan untuk mendapatkan data melainkan dapat merekontruksi maknanya secara rasional.
Pemahaman atas teks kitab suci misalnya selalu berkaitan dengan praktek sosial umat beragama, dalam artian perubahan pemahaman dapat mendorong perubahan praktek. Demikian pula dengan orang-orang yang mau mempelajari al-Qur'an dan memahami kandungan isinya akan percaya akan kebesaran dan mukjizat-mukjizat yang terdapat dalam al-Qur'an.
Pengakuan seorang ahli astrofisika Muslim berkebangsaan Perancis, Prof. Bruno Guiderdoni, menyatakan jika eksplorasi atau penjelajahan di dunia harus memiliki intelegensi dan mengakui bahwa keselarasan yang ada di jagat raya bersumber pada Tuhan yang menciptakannya. Pada masa yang lalu, penemuan-penemuan masih dianggap sebagai ciptaan khalayan belaka.
Namun di era modern saat ini, gejala spiritual dan psikologis sudah menjadi sasaran pengamatan para ilmuan dan sarjana. Namun demikian, ilmu/sains tidak bisa menolak terjadinya wahyu. Sejarah dari buku-buku lama ditulis dalam pengertian ubudiah (keagamaan), berdasarkan sejarah para nabi dan mukjizat-mukjizatnya, sedangkan penyelidikan kalangan orientalis terikat pada metoda dan kritik-kritik ilmiah.
Namun, ada juga sebagian orang yang tidak mempercayainya jika tidak ada pembuktian secara rasional. Bahkan, ada segolongan orang yang sudah beriman kepada kerosulan Muhammad Saw sebelum terjadinya Isra mi'raj, telah menjadi murtad imannya ketika Nabi menyatakan jika Tuhan telah memperjalankannya pada malam hari dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Yerussalem, Palestina, menembus ke langit ke tujuh kemudian ke Sidratul Muntaha yang hanya membutuhkan waktu satu malam.
Dengan demikian Tuhan berperan membimbing manusia di dalam keahidupannya dengan iman. Tanpa keberadaan Tuhan, manusia tidak dapat melakukan perbaikan apapun pada dirinya sendiri. Setiap ciptaan ada penciptanya, sebab tidak mungkin ciptaan ini menciptakan dirinya sendiri. Bukti yang sangat kuat dengan keberadaan Sang Pencipta adalah bukti dari akal sehat yang tidak dapat dipungkiri oleh manusia yang mau berpikir.
Referensi :
- Hossein, Nasr Seyyed. 1994. Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Generasi Muda Muslim. Bandung: Mizan.
- Rakhmat, Jalaluddin . 2004. Dakwah Sufistik Kang Jalal. Jakarta: Dian Rakyat.
- Zein, Arifin, Tafsir Al-Qur'an Tentang Akal (Sebuah Tinjauan Tematis), dalam jurnal At-Tibyan, no. 2 no. 2, Des 2017
- Hardiman, F. Budi, Seni Memahami, Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, 2015
- Tafsir Ilmi (Science: Dalam Perspektif Al-Qur'an dan Sains), edisi 2013, Jakarta:Lautan Lestari
- Haekal, Muhammad Husain, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Saudah , Bogor: Litera AntarNusa, 1990
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H