Dulu wanita dianggap sebagai kaum nomor dua setelah laki-laki. Konstruksi sosial dalam kehidupan rumah tangga, meletakkan kedudukan perempuan hanya mengurus tugas domestik, sementara laki-laki bekerja dalam ruang publik. Secara biologis laki-laki dan perempuan memang memiliki perbedaan dalam hal kontruksi tubuh dan organ reproduksi.
Secara fisik perempuan dianggap lebih lemah, sehingga realitas budaya tidak mengakomodir kesetaraan dan keseimbangan. Perbedaan gender disebut-sebut telah menciptakan ketidakadilan (gender inequality). Masih adanya budaya patriarki telah mempengaruhi interaksi perempuan dan laki-laki dan menimbulkan subordinasi.
Masyarakat dunia memang masih menempatkan laki-laki pada hierarki teratas dari perempuan. Dalam tatanan budaya masyarakat, terdapat realitas jika perempuan masih termarginalkan. Namun, di era milineal saat ini perempuan mendominasi pekerjaan baik di sektor ekonomi dan perbankan. Bahkan banyak kaum perempuan yang menempati kedudukan kepemimpinan di berbagai instansi atau perusahaan swasta.
Walaupun pada awalnya perempuan bekerja dengan alasan menopang ekonomi keluarga. Akan tetapi pada akhirnya posisi ini mulai terbalik, perempuan bekerja sebagai pencari nafkah utama, sementara laki-laki (suami) mengurus anak dan rumah tangga, sehinggga terjadilah pergantian peran. Posisi perempuan mengambil alih semua tanggung jawab yang semula dibebankan pada suami (laki-laki). Dinamika kehidupan seperti ini seringkali menimbulkan konflik dalam rumah tangga karena sudah terpengaruh oleh faham materialisme dan akhirnya berdampak pada perubahan orientasi pada pola hidup dan prilaku.
Jika terjadi realitas kehidupan rumah tangga seperti ini, apakah suami masih berperan sebagai pemimpin dalam rumah tangganya?.Apakah laki-masih memiliki hak utuk menuntut hak-haknya?.
Di dalam surat An-Nisaa'/4:34, dijelaskan bahwa laki-laki adalah pemimpin dalam rumah tangga dan Allah SWT memerintahkan agar istri taat pada suaminya serta ikut membantu dalam menjalankan aktivitas rumah tangganya untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan, jika tidak maka wanita dianggap nusyuz (durhaka). Kalimat jama' dari "raajul" yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah laki-laki, sedangkan 'qawwaamah', dipahami sebagai pemimpin.
Kalimat "Ar-rijaalu qawwaamuuna 'alaa an-Nisaa" (Q.S. an- Nisaa'/4: 34), menurut 'Allamah Thaba thaba'i, bukanlah ditujukan bagi suami dalam konteks rumah tangga, akan tetapi memberikan kewenangan kepada lelaki secara keseluruhan untuk menjadi pemimpin kaum wanita untuk segala sesuatu yang mempengaruhi kehidupannya. Menurut pemikirannya, pemimpin merupakan kedudukan yang mana pemiliknya harus memiliki intelektual dan ini hanya diperuntukkan pada kaum lelaki.
Pendapat Thabathaba'i dijadikan dalil oleh para mufassir dan ahli fikih lainnya bahwa perempuan tidak boleh menjadi pimpinan dengan dasar teks di atas. Pada masa itu, Islam menentang keras masalah kapitalisme, liberalisme dan komunisme, sedangkan isu feminisme jarang diangkat, sehingga mayoritas mufassir membicarakan argumentasi menentang idiologi tersebut.
Berbeda dengan Muhammad Abduh, yang menafsirkan kalimat "al-qawwaamah" pada ayat di atas, sebagai kemuliaan dan pemberian. Apabila setiap orang yang mempunyai kedua hal tersebut, maka dia bisa memberi kepada orang lain dan secara otomatis dialah yang memegang kendali. 'Al-qawwamah', bukan hanya untuk laki-laki, namun dapat juga pada perempuan.
Ayat di atas dipahaminya sebagai gambaran tentang kekhususan yang dimiliki laki-laki sebagai bentuk kelebihan derajat yang di anugerahkan Allah SWT kepada laki-laki, namun bukan berarti memutlakkan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, terlebih lagi jika melihat konteks ayat lanjutannya yaitu; "bi maa fadldlala-llaahu ba'dhahum 'alaa ba'dl" (sebab Allah SWT. tidak melebihkan di antara mereka di atas sebahagian yang lainnya). Pengertian kalimat 'kelebihan' itu merupakan tanggung jawab yang harus dilaksanakan.
Pangkal perdebatannya yaitu kata 'qawwm' dan sering diasumsikan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab, kekuasaan dan wewenang atas fisik dan moral perempuan serta memiliki kelebihan di atas yang lain. Pemaknaan tersebut nampak jelas bahwa pria ada pada posisi superior, sementara perempuan pada posisi yang inferior. Argumen superioritas laki-laki ini didasarkan pada pemahaman jika kaum lelaki bertanggung jawab untuk memberikan nafkah dan menafkahi kebutuhan perempuan. Al-Zamakhsyari menegaskan bahwa, laki-laki dianggap memiliki kelebihan penalaran (al-'aql), tekad yang kuat (al-hazm), kekuatan (al-quwwah), keberanian (al-fursiyyah wa al-ramy) serta kemampuan tulisan (al-kitbah).