Landasan superioritas lelaki atas perempuan yaitu pada (Q.S. al-Baqarah/2:228) "bahwa bagi laki-laki satu derajat lebih tinggi dari perempuan". Laki-laki memiliki keutamaan dan kelebihan sehingga cocok menjadi penanggung jawab atas perempuan. Hal ini dikarenakan suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangganya, sehingga pada hakikatnya memberikan nafkah kepada perempuan sudah merupakan kelaziman bagi laki-laki. Secara garis besar konteks ayat tersebut difahami bahwa seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangganya serta sebagai penanggung jawab dari segala urusan dan kebutuhan rumah tangganya (kebutuhan istri dan anak-anaknya). Dengan demikian, seorang istri hanya mutlak bertanggung jawab dalam mengurus rumah tangganya dan bukan bertanggung jawab sebagai pemimpin dalam rumah tangganya.
Apabila istri bekerja untuk menunjang kebutuhan ekonomi keluarga atau sekedar tuntutan karir karena istri memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu, maka perlu dibina adanya kerjasama antara keduanya. Namun, peran dan tugas istri dianggap sebagai pendamping suami bukan mengambil alih menjadi pemimpin hanya dalam rumah tangganya. Adanya kesederajatan antara suami dan istri tersebut dapat mewujudkan suatu jalinan kemitraan yang sejajar sehingga tidak adanya diskriminasi. Dengan demikian dapat mewujudkan keluarga yang harmonis menurut persfektif Islam.
Adanya teks-teks al- Qur'an yang menjadi validitas terhadap kepemimpinan laki-laki dengan pertimbangan pokok-pokok sebagaimana yang disebutkan pada Q.S. an-nisaa/4: 34, menegaskan masalah tanggung jawab laki-laki yang menopang serta membantu orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan secara ekonomi. Sebaliknya, apabila dalam praktiknya perempuan juga mempunyai kapasitas, kemampuan dan ekonomi yang berkecukupan, maka mereka bertanggung jawab untuk membantu orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kecukupan harta, baik dari keluarga sendiri maupun masyarakat luas.
Menurut Quraish Shihab, terdapat dua hal pokok terhadap tugas kepemimpinan. Pertama, dalam konteks "Qawwaamah" keistimewaan yang dimiliki laki-laki lebih sesuai untuk menjalankan tugas tersebut terutama dari segi fisik dan psikis. Kedua, laki-laki telah menafkahkan sebagian hartanya. Sehingga apabila suami tidak memiliki kapasitas untuk menjalankan dua hal pokok tersebut, maka boleh jadi kepemimpinan rumah tangga bisa beralih pada istri. Apabila peran suami diambil alih oleh istri sebagai penanggung jawab kehidupan keluarga dan suami juga mengambil kendali peran istri dalam rumah tangga, maka hal ini diperbolehkan, sebab prinsip menjalankan kehidupan rumah tangga adalah taawun (tolong-menolong), asalkan tetap saling menghargai.
Al-Qur'an sebagai Kitab Suci yang menjadi bahan rujukan prinsip dasar masyarakat Islam menunjukan bahwa kedudukan pria dan wanita memiliki derajat sama (Q.S. an-Nisaa'/4: 1), sebab mereka diciptakan dari satu nafs (living entity), dimana yang satu tidak mempunyai kelebihan terhadap satu dan lainnya. Islam hadir pada sebuah konsepsi hubungan manusia yang berdasarkan kesederajatan yang sama pada manusia.
Dengan demikian, Islam telah mengangkat derajat kaum perempuan atas ketidak adilan sosial pada dirinya, sehingga tak ada satupun dari ajaran Islam yang memarginalkan perempuan sebab bertentangan dengan prinsip dasar keislaman.
Penulis :
Hj. Erllies Erviena M.ag (Alumni PTIQ: Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir)
Referensi:
Asyraf Borujerdi, Sekilas Tentang Peran Sosial Politik Perempuan dalam Pemerintahan Islam, Membela Perempuan: Menatar Feminisme dengan Nalar agama, ed. Ali Hosein Hakeem, terj. A.H. Jeumala Geumbala, Jakarta: Al-Huda, 2005.
Ayatullah Jawadi Amuli, Keindahan dan keagungan Perempuan: Perspektif Studi Perempuan dalam Kajian al-Qur'an , filsafat dan Irfan, Jakarta: Sadra Press. 2011, hal. 362.