Mohon tunggu...
Try Kusumojati
Try Kusumojati Mohon Tunggu... -

selalu ingin tahu lebih

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Memaki Tuhan

29 Juli 2010   14:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:28 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari sudah tidak malu-malu lagi. Burung-burung gereja mulai berterbangan dan bernyanyi.Angin berhembus perlahan, sejuk dan nyaman. Berita di televisi tidak lagi mengenai pembunuhan, pemerkosaan atau tentang video porno mirip artis yang menjemukan. Secangkir kopi hangat dan sepotong roti menjadi pelengkap pagi ini. Ah pagi yang sangat indah.

Aku teringat semalam, ketika aku memaki Tuhan. Tuhan yang menurutku sering tidak adil. Tuhan yang menurutku tidak berhasil mengendalikan kehidupan. Tuhan yang katanya Maha Pemberi, tapi tak memberiku apa-apa. Aku masih disini, masih terluntai-luntai, masih tertidur dengan jutaan mimpi yang semakin memberangus otak dan pikiran. Ku maki Tuhan karena ketidakmampuan-Nya mengubahku menjadi lebih baik. Ku maki Tuhan karena memberikan kelebihan pada manusia-manusia yang tidak pantas mendapatkannya. Ku maki Tuhan atas segala bencana yang terjadi dinegeri ini. Tsunami Aceh, gempa Jogja, gempa Padang dan sebagainya. Bagaimana mungkin, dia yang katanya Maha Penyayang justru ingin menghancurkan bumi yang Dia ciptakan untuk kita tempati. Ku maki Tuhan yang memisahkan anak dari ibunya, suami dari istrinya, kakak dari adiknya. Ku maki Tuhan atas keadaan busuk negeri ini. Presenter tv yang tidak independent, pemimpin yang tidak peka, politikus yang jahat, seniman yang sering menipu, hakim yang tidak adil, guru yang tidak mendidik dan segala hal busuk yang memenuhi udara negeri ini. Lihatlah para anggota DPR yang hanya tertidur namun mendapatkan uang yang banyak. Lihatlah polisi-polisi biadab yang perutnya gendut oleh nikmat berlebih yang Tuhan berikan. Mengapa seorang gayus, anggodo dan kecoa-kecoa najis lainnya bisa mengatur siapa yang benar dan siapa yang salah? Bagaimana dengan janda-janda pahlawan yang terlupakan begitu saja? Padahal dahulu suami mereka mengorbankan nyawa demi kemerdekaan yang kita rasakan saat ini. Ku maki Tuhan atas ketidakadilan itu. Bagaimana dengan petani yang memberi kita nasi? Bagaimana dengan nelayan yang bertaruh nyawa demi memberi kita asupan protein? Bagaimana dengan tukang sapuyang setiap pagi membersihkan sampah-sampah di pinggir jalan? Mengapa mereka tidak mendapatkan imbalan yang sesuai? Ku maki Tuhan atas ketidakmampuan-Nya mengatur hidup dan kehidupan yang Dia ciptakan. Bagaimana dengan aku? Mengapa aku tidak mempunyai mobil seperti temanku? Mengapa aku tidak mempunyai rumah mewah seperti orang itu? Mengapa aku tidak terlahir ganteng seperti Ariel, hingga semua perempuan bisa ku taklukan? Ku maki Tuhan Yang Maha Pemberi atas kekikiran-Nya. Dalam tidurpun aku memaki Tuhan. Hingga aku bertemu pagi ini.

Pagi yang mengubah pikiran bodohku. Pagi ini memberi bukti bahwa banyak nikmat Tuhan yang sering kuingkari. Aku masih bernafas. Masih bisa menghirup udara yang kudapatkan secara gratis. Tanganku masih sempurna dan masih berfungsi dengan baik. Kedua kakiku masih kuat menopang tubuh. Mataku masih jelas melihat dan telingaku utuh. Sempurna! Aku terdiam dan merenung. Merenungi kebodohanku semalam. Ku maki diriku atas kebodohanku. Lalu kusadari bahwa segala bencana yang terjadi dinegeri ini merupakah sebuah peringatan. Peringatan atas kebodohan manusia yang memperlakukan alam semaunya. Bencana-bencana yang terjadi tidak lain adalah buah karya manusia. Politikus biadab, hakim yang tidak adil, polisi yang justru menjadi sampah masyarakat dan guru yang tidak mendidik adalah bukti bahwa setan itu memang benar-benar ada. Tuhan ingin menunjukkan hal tersebut agar kita waspada dan tidak tergoda. Petani, nelayan dan tukang sapu jalanan merupakan manusia-manusia ikhlas dan mulia. Sama seperti para janda pahlawan perintis kemerdekaan. Bayangkan saja jika salah satu dari mereka tidak ada. Aku bersyukur tidak menjadi seperti ariel. Karena jika iya, mungkin sekarang jiwaku akan terganggu. Moralku akan rusak. Dan kaum perempuan akan membenci dan mencaciku. Lalu kusadari, bukankah setiap manusia memang harus berusaha untuk mendapatkan segalanya? Bukankah Tuhan memang menciptakan manusia berpasang-pasangan? Ada laki-laki dan perempuan. Ada si miskin dan si kaya. Ada yang ganteng dan tidak ganteng. Ada yang cantik dan tidak cantik. Ada hitam, ada putih. Ada baik, ada buruk. Semua saling mengisi. Semua saling membutuhkan. Tidak kaya orang itu jika tidak ada orang miskin. Tidak ganteng orang itu jika tidak ada yang jelek. Begitu seterusnya. Bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum tersebut berusaha mengubah nasibnya sendiri? Terkadang kita berfikir, bahwa keadaan-lah yang membuat kita begini dan begitu. Keadaan yang membuat seorang anak bunuh diri karena tidak bisa sekolah. Keadaan yang membuat seseorang harus mengemis di jalanan. Dan sebagainya. Tidak sepantasnya kita menyalahkan keadaan.

Manusia bukanlah ciptaan keadaan, keadaan itulah ciptaan manusia.”

-Benjamin Disraeli-

“Jika kau terlahir miskin, itu bukan kesalahanmu. Tetapi jika kau mati dalam keadaan miskin, itu kesalahanmu.”

-Bill Gates-

Ah, aku memang terlalu banyak meengeluh.Mengeluh atas segala nikmat yang kuingkari. Seperti pagi yang indah ini. Maha Besar Engkau yang telah menciptakan matahari yang indah. Burung-burung yang menghasilkan suara merdu. Angin yang sejuk. Kopi yang nikmat dan sepotong roti yang legit. Maha Besar Engkau yang mengatur segala keindahan di setiap pagi.

Ku maki diriku atas kebodohanku. Ku maki diriku karena telah memaki Tuhan. Maha Baik Tuhan yang membalas makianku semalam dengan memberi pagi yang begitu indah.

Disela isak tangisku, aku mohon maaf pada-Mu Tuhan. Sesungguhnya, hanya Engkau-lah Sang Maha Pemberi Maaf.

Untuk perempuan dalam hidupku :

“dear cinta,

terima kasih atas kemarahanmu

terima kasih atas cacian manismu

terima kasih atas mimpi yang kau tanam dalam jiwaku

terima kasih telah menyadarkanku dari kebodohan dan kesombonganku

terima kasih telah menyayangi kekuranganku

terima kasih atas waktu yang kusita dari hidupmu..”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun