Mohon tunggu...
Irma Mandaka
Irma Mandaka Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Emak-emak yang masih belajar menulis dan membaca

simple

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Maut di Lumbung Teh Rancabali

10 Oktober 2021   07:00 Diperbarui: 14 Oktober 2021   13:15 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Teman saya meninggal karena patah lehernya,” kata Siti Hadiati, murid kelas 5 SD yang saya bimbing. Itu bukan cerita menyenangkan, khususnya bagi anak-anak. Tapi, itulah yang terjadi di Dusun Cihideung, yang dikepung perkebunan teh subur Rancabali, Priangan Selatan, Jawa Barat.

Teman Siti, seperti banyak anak-anak lainnya di Cihideung, berkerja membantu orangtua atau kakek-neneknya serta mencuci pakaian sendiri. Setelah membantu neneknya di kebun anak itu hendak menjemur baju. Malang, dia terpeleset saat hendak menjangkau tali jemuran yang tinggi. Dia mengalami koma.

Cihideung terpencil jauh. Rumah sakit terdekat di Kabupaten Bandung, harus dicapai lewat jalan buruk yang dapat membuat ibu hamil spontan melahirkan. Biaya sewa ambulan sedikitnya Rp 500.000. Anak itu tak selematkan. Ia mati muda begitu saja.

Cihideung secara fisik dekat dari kota metropolitan Bandung yang sibuk. Namun, secara sosial dan ekonomi sangat jauh. Dia terpencil karena sulit untuk mencapainya.

Untuk mencapainya kita harus melawati jalan selebar dua meter yang penuh batu seukuran kelapa dan menurun tajam dengan kemiringan 45 derajat. Di ujungnya menganga tebing dibatasi pematang rendah bertirai tipis rerumputan. Hamparan sawah jauh di bawahnya seakan siap menelan apapun yang terjatuh ke sana. Di kejauhan hamparan teh berbukit-bukit bagai gelombang permadani hijau tak bertepi di bawah langit biru.

Lalu jalan seolah menghilang, sebab ia tiba-tiba berbelok 120 derajat ke belakang dinding bukit sebelah kiri dan terus menurun terjal. Sekonyong-konyong dari arah berlawanan bisa muncul mobil pick up dari berisi sayur mayur yang menggerung bagai kerbau liar yang dipacu. Di belakangnya ikut mengejar motor dengan gerobak cilok bagai anjing yang terbirit-birit berusaha mendaki jalan terjal dan sempit itu.

Jalan sempit dan terjal ini adalah akses menuju Cihideung yang terletak di Kecamatan Rancabali, terletak lembah di Bandung Selatan yang berbatasan Kabupaten Cianjur.

Lebih dari 30 tahun hidup di Bandung, baru kali ini saya melangkahkan kaki ke ujung Bandung Selatan itu. Padahal jarak tempuh dari kota Bandung hanya dua setengah jam perjalanan. Tapi perjalanan pertama ke Cihideung ini rasanya lebih lama. Karena beberapa kali berhenti dan diselingi jalan kaki menghindari curam nya jalan atau terlalu zig zag berbatu.

Selain menunaikan tugas sebagai volunteer da’i ke daerah terpencil, perjalanan ini sendiri adalah salah satu wujud keinginan saya yang terpendam lama. Yaitu menjelajahi bagian selatan Jawa Barat yang jarang dikunjungi orang.

Rancabali merupakan pemekaran dari Kecamatan Ciwidey yang eksotis. Pusat wisata di Bandung Selatan ini didominasi oleh perkebunan teh milik dua perusahaan, yakni PTPN VIII dan Sinumbra. Jalan lokal kadang mulus, kadang berlubang dan berbatu membelah area perkebunan ini. Di beberapa tempat berkelok seperti ular merayap naik turun bukit. Di beberapa sisinya, selain rumpun belukar dan gulma berbaris mahoni, pinus atau albasia.

Bukit-bukit kecil di antara hamparan teh seperti tertutup noda-noda putih karung plastik berisi tanaman strowberi. Beberapa danau kecil dengan airnya yang biru gelap bagai cermin bisu berbaring sendiri memantulkan cahaya matahari pagi kekuningan menyebar di tengah hamparan hijau pohon teh. Keindahan naturalis romantis ini tidak ditemui bahkan di perkebunan teh Kayu Aro di kaki Gunung Kerinci, Sumatera Barat, atau di Darjeeling, Pegunungan Himalaya.

Di sekitar pabrik teh Sinumbra yang berdiri sejak 1870, rumah-rumah tua bergaya kolonial masih tampak kokoh, cukup terpelihara dan berfungsi sebagai kantor atau tempat tinggal. Begitupun rumah-rumah kayu barak pegawai perkebunanan, dengan warna cat biru muda berkelompok-kelompok di seputarnya.

“Sejak tahun 2000 ada inisiatif masyarakat Cihideung untuk melebarkan jalan,” kata Ujang Koswara, Kepala Dusun Cihideung. “Pemerintah desa melakukan pengerasan pada 2006, diteruskan dengan lapisan beton pada 2016.”

Sebagai dusun terujung dari Rancabali, Cihideung seperti berada di dasar sebuah mangkuk. Sehingga masih jarang terakses pengunjung maupun tersentuh program pembangunan pemerintah.
Sekolah Dasar Cihideung adalah satu-satunya fasilitas umum yang tersedia. Dengan 7 personil termasuk guru, kepala sekolah dan penjaga sekolah. Bahkan dari mereka hanya seorang saja yang benar-benar tinggal di Cihideung.

Taufik seorang anak kelas lima yang saya temui, bahkan belum lancar membaca dan menulis. Dia tidak sendirian. Bisa dibayangkan bagaimana peliknya anak-anak ini mengadapi aturan baru pembelajaran secara daring selama masa pandemi, apalagi sempat memikirkan aturan baru berseragam dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Delapan puluh persen anak-anak lulusan SD Cihideung tidak melanjutkan sekolah. Mengikuti jejak orangtua, mereka lebih memilih menjadi buruh di perkebunan teh. Mereka yang cukup mampu melanjutkan sekolah pun harus menempuh jarak yang jauh, sulit dan kadang tidak aman untuk anak-anak. Beberapa kali terjadi perampasan motor yang mereka kendarai di tempat terpencil dalam perjalan pulang dari sekolah.

Pagi hingga tengah hari, dusun ini seperti kehilangan penghuni. Orang-orang dewasa telah berangkat memetik pucuk teh. Jika musin hujan dan pucuk teh sedang subur, mereka bahkan meninggalkan rumah-rumah panggung mereka sejak tengah malam. Mereka mengabaikan pekatnya malam, suhu 5 derajat celcius yang menggigit dan ancaman patukan ular berbisa. Satu-dua ada yang harus meninggalkan anak kecil mereka di rumah sendirian, diasuh konten tiktok yang lalu ditiru mentah-mentah oleh si anak.

Produk teh Sinumbra bertahun-tahun merupakan produk unggulan ekspor. Namun akibat kalah bersaing dalam kualitas dengan teh produk India, ekspor terhenti. Hal ini berakibat pada pemutusan kontrak kerja.

“Sekarang mah, ibu jualan jajanan gini aja keliling kampung,” kata Mimin, yang bersama suaminya, Hidayat, harus pensiun setelah 20 tahun memetik teh. Mereka termasuk mantan buruh yang cukup beruntung. Dengan pesangon yang mereka peroleh, mereka dapat mempunyai modal untuk berdagang kecil-kecilan, membangun rumah permanen dan membeli tanah kebun serta mampu membiayai kuliah anaknya.

Sebagai salah satu basis pejuang dan kantong gerilya di masa revolusi fisik tahun 1945, Cihideung belum banyak menikmati hasil kemerdekaan. Apalagi tersentuh manfaat proyek infrastruktur bernilai trilyunan. Untuk sekedar mendapat layanan kesehatan pun masih demikian langka dan sulit dijangkau.

Sulitnya layanan kesehatanlah yang membuat teman Siti tidak tertolong, sehingga meninggal. Dia tak sempat menunggu dirawat. Ia mati muda begitu saja, tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya. Tak sempat menamatkan sekolah SD. Tak sempat lagi cuci mata di pasar pekanan desanya. Apalagi mengunjungi kebun binatang sambil melewati deretan tiang-tiang angkuh mega proyek kereta cepat Bandung-Jakarta.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun