Iklan BlackPink yang diboikot oleh seorang yang 'diboikot' Â melalui website change.org menjadi polemik media sosial belakangan ini. Iklan BP yang dikatakan tidak seronok tampaknya menjadi kontroversi di dalam masyarakat Indonesia. Untuk fairnya, hal ini bukan yang pertama dilakukan, SNSD (So Nyuh Shidae) atau Girls Generation juga pernah mengalami hal serupa sebelumnya, dan ada kolom berita kalau pelapor yang mempermasalahkan iklan Shopee ini dulu aktif menjegal kedatangan SNSD juga. Â Tetapi petisi untuk SNSD gagal karena tampaknya orang lupa akan kehadiran girlband itu. Â
Untuk memahami dasar aktivisme si penolak, kita perlu mengetahui latar belakang grup idol ini. Sebenarnya untuk fair saja, penolak iklan BP itu masih memiliki dasar dalam penolakannya. KPOP, sama dengan anime Jepang, memiliki genre yang berbeda-beda. Ada genre yang cenderung 'imut' dan 'innocent' seperti TWICE, ada genre yang cenderung 'dewasa' seperti BP dan SNSD, dan ada genre yang ditengah-tengahnya, seperti 'Red Velvet'.Â
Konsep yang seperti BP dan SNSD memang bisa diargumentasikan 'tidak sesuai dengan budaya Pancasila atau Indonesia', karena memang beberapa lagu mereka itu dapat dikatakan 'nakal'. Contohnya di lagu 'I Got a Boy' SNSD, beberapa gerakan mereka memang provokatif. Jadi memang to be fair, penolakan ini bukan tanpa dasar, sekalipun memang di iklan Shopee, pakaian mereka relatif sopan.
Tetapi penolakan BP dan SNSD bukan merupakan aksi yang unik atau eksepsional, Ini adalah bagian dari kultur yang akan diistilahkan sebagai 'inquisitor' di Indonesia. Di sini akan dijelaskan seperti apa kultur ini dan mengapa kultur ini sebenarnya gagal dan pengagalan iklan BP hanya seperti membunuh satu ekor semut pekerja dari koloni semut.
Kultur Inquisitor (Gagal) Indonesia
Penolakkan iklan BP adalah salah satu kultur inquisitor Indonesia. Maksud dari kultur Inquisitor ini diambil dari tindakan Inkuisisi Spanyol di abad pertengahan atau Middle Ages. Di mana pada masa itu Gereja Katolik yang bekerja sama dengan pemerintahan sekuler datang untuk membasmi aliran sesat melalui cara tribunal dan hukum. Gampangnya kultur Inquisitor adalah kultur yang ingin meluruskan kelakuan berdasarkan agama/ideologi/budaya yang berlaku di suatu wilayah.Â
Kultur ini sebenarnya tidak asing bagi Indonesia dan sudah sedari lama dilakukan. Konser Lady Gaga misalnya, pernah ditentang oleh FPI beberapa tahun yang lalu, Miss World pun pernah ditentang oleh elemen kelompok yang sama. Hal ini sebenarnya tidak unik ke kelompok Agamis. Pembersihan segala sesuatu yang kiri dan mutasi orang-orang yang menentang pemerintah pada Soehart juga salah satu perwujudan kultur ini.
Kultur ini sebenarnya bukan hal yang asing di Indonesia. Orang dapat melihat kultur seperti ini di daerah pedalaman, terutama pada suku-suku Isolasi. Orang Timur memiliki prinsip konformitas ke budaya karena pemikiran kelompok atau kolektivitas mereka. Sehingga orang yang individualis dan berasal dari kota perlu menyadari sebenarnya ini bukan tindakan yang 'nyeleneh' atau 'buang-buang waktu', karena bagi orang seperti ini, mereka merasa wajib mengurus kepentingan orang lain. Jadi argumen 'elu-elu, gue-gue' tidak bisa berlaku bagi orang dengan pandangan sosial seperti ini.
Tapi hal yang membuat meringis adalah orang yang mendukung gerakan ini. Beberapa yang mendukung ini di media sosial mengira ini seperti sebuah 'kemenangan'. Tapi sebenarnya, tanpa mengurangi rasa hormat, ini cuma khayalan mereka. Keberhasilan 'boikot' mereka sebenarya, sangat-sangat terbatas. Iklan itu akan berhenti tayang di Iklan pada tanggal 12-12-18, sementara petisi itu mulai diberlakukan di 11-12-2018. Jadi seperti antiklimaks, mereka cuma berhasil mencegah 2 hari tayangnya iklan itu di televisi, good for them, i suppose.
Yang lebih lucu lagi, sebenarnya mereka tidak mengubah apa-apa dengan keberhasilan petisi mereka. BP itu hanya bagaikan seekor semut yang mereka injak terus mereka merasa sudah menghancurkan satu koloni semut. Sebenarnya kultur seperti ini bisa dikatakan hanya seperti 'asik-asik' saja. Sejujurnya, orang bisa tertawa kecut melihat polemik ini. Kenapa? Karena sejujurnya, mereka tidak pernah dianggap serius oleh banyak orang, mungkin termasuk kelompok mereka. Dan mereka tidak memiliki cukup 'gaul' untuk tahu sebenarnya usaha mereka itu sangat-sangat-sangat- minim.
Orang mungkin beralih ke dangdut koplo sebagai dalih standar ganda mereka, tapi sebenarnya budaya 'tidak Pancasilais' itu pada dasarnya sudah diamini dan sudah menjalar ke masyarakat. Orang yang seumur saya (mid 20) pasti pernah main PS sekali saja. Dalam PS ada serial yang cukup terkenal bernama Final Fantasy. Ini merupakan game yang lumayan banyak penggunanya di Indonesia. Dan orang pasti sudah tahu karakter salah satu serial yang bernama Tifa Lockhart. Ini merupakan salah satu karakter yang bisa dikatakan...buah mata di serial Squaresoft, dan bukan hanya satu orang saja yang berpendapat seperti ini.Â
Pakaian Tifa Lockhart SANGAT bisa dikatakan sebagai pakaian yang provokatif. Dan serial game ini, sekalipun audiensnya anak-anak hingga remaja, memiliki cita-rasa dewasa. Ada scene dimana protagonis Cloud Strife melakukan cross-dressing. Selain itu banyak sugesti 'aneh' yang ada di game ini. Yang paling membuat saya tertawa saat dewasa adalah saat salah satu misi dimana kita harus mendapatkan wig dari tipikal orang berotot gym yang 'lemah lembut' yang tidak akan dijelaskan di sini karena memang kata-katanya ambigu.
Selain di serial itu, beberapa serial sequelnya semakin menekan konsep 'buah mata' lebih keras, Yuna dari FFX misalnya, setelah keluar dari ordo Summoner mengenakan pakaian yang provokatif dan tidak ada yang tidak akan menanggap Ashelia B'Nargin Dalmasca di FFXII juga memakai pakaian yang sopan. Beberapa karakter yang populer dalam game memiliki konsep 'buah mata' ini, dan ini tidak hanya berlaku pada wanita.Â
Dan ini tidak hanya di game saja, di anime/manga populer seperti Naruto, One Piece, Bleach, dan Fairy Tail  yang dilihat anak-anak pun, komiknya memiliki eleman yang bisa dikatakan 'nakal'. Misalnya Naruto memiliki jurus yang berubah menjadi wanita dan pria yang tidak berbusana, One Piece sejak timeskip memiliki karakter yang 'buah mata', dan kalau Fairy Tail...mungkin yang sudah membacanya saja saking banyak konsep 'buah-mata' di situ akan risih melihatnya. Â
Tapi yang mengherankan, hal-hal diatas tidak ada yang terlalu peduli untuk melaporkan, sekalipun ini tidak kalah populer dibanding blackpink, dan saya berani bertaruh, kaum pria yang jadi sasaran buah mata ini pasti lebih tahu serial yang disebutkan di atas daripada Blackpink.
Entah mengapa mereka tidak peduli akan hal ini. Apakah karena tidak tahu atau konformasi budaya? Tapi tampaknya jawabannya lebih dekat yang pertama, karena orang yang seperti ini tidak akan cukup peduli atau niat mendalami kultur seperti ini di masyarakat, jadi kultur inkuisisi ini hanyalah semacam asik-asikan saja kelihatannya. Dibanding usaha konsisten menjaga moral masyarakat, ini hanya seperti membunuh satu semut dan berteriak kemenangan tanpa tahu kalau di dalam koloni semut itu, masih ada ribuan semut lainnya.
Itulah mengapa, kultur Inqusition di Indonesia, sekalipun ada, mungkin hanya sebatas lelucon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H