Reklamasi Pantai Utara tampaknya masih jadi Trending Topic hingga sekarang, terlebih saat pembahasan masalah Reklamasi semakin berarah ke politik daripada teknis atau saintifik, apalagi digoreng dengan Gubernur Ahok dan Presiden Jokowi yang memiliki bias ke arah pro-Reklamasi. Beberapa kritikus, mulai dari orang awam hingga laskar padang pasir mulai mencuap-cuap 'argumentasi' mereka di media sosial.
Hal ini mengingatkan saya ke salah satu orang yang kontra reklamasi yang tanpa sengaja dipicu oleh bahan pembicaraan kami yang mengatakan dasarnya reklamasi tidakÂ
Menurut saya tipikal kompasianer dan netizen mayoritas memang seperti ini. Alasannya hanya berkisar dengan WALHI, mengatakan antek Kapitalis, merusak budaya, merusak lingkungan, berpotensi korupsi, menggunakan sumber tunggal, dan sebagainya yang sebenarnya semuanya adalah meracuni posisi lawan tanpa MENJAWAB dan MEMBAHAS esensi masalah yang ada.
Dalam dunia akademis, kalau anda mempresentasikan secara publik hal seperti ini tanpa uraian, anda sudah pasti akan ditertawakan. Hal di atas tidak lebih adalah hipotesis dan kondisi umum yang dibesar-besarkan, cocok memang bagi orang yang terbias terlalu parah dan memiliki kekosongan dalam beropini. Hal ini bisa dilakukan siapa saja yang tidak memiliki pengetahuan dalam hal yang bersangkutan. Intinya, tukang servis motor atau tukang sayur keliling juga bisa bicara seperti ini. Parahnya lagi, tampaknya hal ini menjalar seperti virus, terutama di daerah yang memang agak terbelakang atau daerah yang tradisional. Tidak heran, mengapa beberapa tradisionalis Bali menolak mentah-mentah Reklamasi, dan mungkin memang petinggi anti-Reklamasi, sadar atau tidak, memanfaatkan kecenderungan budaya kolektif untuk menguatkan agenda mereka.
Posisi orang anti-Reklamasi, sejatinya bukanlah posisi dengan pemikir yang dengan seksama membahas masalah Reklamasi, beberapa analis di Kompasiana hanya mengulang argumen hukum soal Keppres Tahun 1995. Memang, saya yang pro-Reklamasi saja mengakui, hanya HUKUM yang bisa mengagalkan proyek Reklamasi, karena berkaitan dengan prosedur dan etik. Hanya yang saya lihat banyak kritikus Reklamasi mayoritas tersandung dalam pembahasan saintifik dan teknis, karena memang mereka bukan ahli di bidang itu, dan beberapa terbias sangat parah, hingga salah memahami esensi masalah yang ada dalam proses Reklamasi. Maka dari itu, saya jarang melihat orang kontra-Reklamasi berani berdiskusi di Forum Resmi dan di Kompasiana, orang yang bertaring tajam dari luar pun, tidak komen apa-apa saat ada artikel saintifik yang dipublikasi oleh Kompasianer yang sempat masuk HEADLINE.
Untuk memahami dan memberikan diskusi yang open-ended soal Reklamasi, yang perlu dilakukan akan dibahas sebagai berikut :
1. Menghindari Apriori dan Prejudice Soal Reklamasi
Seringkali Reklamasi sudah dilabelkan buruk dengan konspirasi bisnis dan ekspansi kapitalisme, merugikan rakyat kecil, merusak lingkungan, dan sebagainya. Lucunya, saya yakin, beberapa orang yang menolak reklamasi adalah bagian dari Kapitalisme tersebut. Ada yang bekerja di Pabrik Swasta seperti Indofood, Djarum, AlfaMart Group, Salim Grup dan grup lainnya? Tidak bisa dipungkiri, perusahaan tersebut bukan perusahaan yang docile, tetapi merupakan tipikal Kapitalis yang mengexpansi usaha mereka dengan membeli banyak perusahaan lainnya.Â
Adanya kaum kapitalis sebenarnya juga secara langsung dapat meningkatkan taraf hidup dengan membuka lapangan pekerjaan, dimana ada bisnis, di situ ada oportunitas. Dalam mengambil keputusan, sebenarnya yang harus diperhitungkan bukan emosi personal, seperti anda benci Grupnya Budi atau Grupnya Ani, tapi harus menggunakan 'harm principle', jadi, apakah bisnis itu bisa menimbulkan efek negatif ataukah positif? In fact, membangun BISNIS adalah HAK setiap orang, entah dia kaya ataupun miskin.
Apriori lainnya adalah mengatakan hal ini merusak lingkungan, tidak ada yang menyangkal itu. Pasti ada dampak negatif yang terkena, tapi rumah anda dan jalan yang anda sekarang jalan pun, adalah hasil pembangunan yang 'merusak' lingkungan, dari pembukaan hutan, penutupan rawa dan daerah resapan. Dalam beberapa rencana Tata-Ruang Kota pun, risiko 'perusakan lingkungan' pasti ada. Tapi kembali ke atas, berapa kadar lingkungan yang rusak? Dan berapa keuntungan yang bisa didapatkan dari proyek itu? Mungkin saja 'kerusakan lingkungan' itu dampaknya kecil, jadi harus ada detailnya seberapa besar sih masalahnya? Meminjam istilah teman saya : Jangan membesar-besarkan masalah yang hanya sebesar kemaluan kuda laut.
A priori juga termasuk menekankan kontra tanpa esensi secara berlebihan : Misalnya tentang kerusakan lingkungan dan masalah sosial seperti nelayan yang disebutkan, seolah-olah tidak ada solusi. Pemikiran hitam-putih seperti ini tidak produktif dan realistis (ini mungkin mengapa kritikus Reklamasi mayoritas adalah orang awam yang simpel, mereka kurang biasa berfikir dan berargumen dalam problem-solving). Problem Solving memiliki teknik pemilihan keputusan dan penanggulangan atas resiko yang ada. Dengan logika seperti ini, mungkin anda tidak akan main Pokemon GO karena takut 'tertabrak mobil' kalau memainkannya, sehingga mentah-mentah menolaknya.Â
Dan Ironisnya  di sini adalah : Orang-orang kontra Reklamasi mengaku mayoritas peduli lingkungan, tapi tampaknya tidak komplain dengan Nelayan dan orang-orang kecil di Bantaran Sungai yang turut berkontribusi dengan kerusakan lingkungan.
2. Tidak Menyalahgunakan Otoritas
Menyalahgunakan pendapat ahli dan otoritas adalah salah satu kebiasaan yang paling disukai, bahkan orang yang berpendidikan pun sering tersandung dengan kesalahan ini. Orang mungkin menyebutnya 'Taqlid Buta', percaya pada otoritas tanpa akal.Â
Kesalahan yang pertama adalah menggunakan otoritas yang valid tanpa verifikasi yang jelas. Professor sekalipun, bisa saja melakukan kesalahan, karena itu ada yang namanya sistem peer-review di Jurnal dan ada komunitas/grup pakar yang membahas suatu masalah sosial. Jadi sekalipun pendapat itu berasal dari orang yang bergelar Ph.D., Prof, atau apapun sekalipun, jika itu berupa hipotesis tanpa lolos screening review atau komunitas, maka hal itu layak dikritisi lebih dalam, dasarnya bukan teori atau hasil riset, tapi kemungkinan adalah hipotesis.Selain itu, dalam menulis suatu artikel dalam hal yang kontroversial, menjawab lawan adalah hal yang perlu, untuk meyakinkan pembaca akan argumen anda.
Kesalahan yang kedua adalah menggunakan otoritas yang tidak valid sebagai argumen. Kesalahan ini sering dilakukan media tipikal tentara padang pasir yang tanpa kesadaran akademik menggunakan lagu Iwan Fals dan Penulis Novel seperti 'Tere Liye' yang sempat dilakukan dahulu. Yang sering membuat kelompok antireklamasi tersandung juga adalah mengutip 'sesepuh' masyarakat, seperti Budayawan dan Pemuka Agama.
Selain itu, diperlukan kecocokan otoritas dalam suatu masalah. Misalnya anda tidak bisa mengutip LSM yang mewakili Nelayan untuk kajian saintifik Reklamasi (kecuali sudah memahami dan melakukan riset dalam tentunya), atau mengutip WALHI untuk menyelesaikan masalah sosial dengan Nelayan dan sebagainya.
Perlu dicatat juga, argumen berdasarkan satu otoritas TIDAK konklusif, sehingga anda tidak bisa mengutip WALHI seperti di atas sebagai alasan untuk 'membatalkan reklamasi'. Ini adalah penyalahgunaan Otoritas. Suatu otoritas bisa dikutip untuk membahas POINT tertentu, bukan masalah secara keseluruhan.
3. Tidak Mengabsolutkan Hukum dan Etika
Hukum adalah satu-satunya kaki argumen yang solid pada kelompok anti-reklamasi, maka dari itu taring paling tajam mereka pun ada pada ranah hukum. Tapi kalau diperhatikan, pemerintah pusat yang tidak dapat dikatakan pro-Reklamasi pun sebenarnya open minded terhadap masalah ini, misalnya Rizal Ramli yang sebenarnya hanya mempersoalkan pulau G (oleh Agung Podomoro), begitu pula dengan Menteri Susi yang sebenarnya tidak menolak mentah-mentah, malah open-minded terhadap Reklamasi, termasuk Jokowi yang akhirnya memberikan izin dengan syarat pada pengembang.
Hukum yang fleksibel pun bisa kita lihat di GO-JEK, UBER, dan GRABBIKE. 3 Fasilitas ini sebenarnya secara hukum salah, yang diakui oleh Ahok, Jonan, dan beberapa orang di pemerintahan juga, karena Motor bukanlah kendaraan Umum, begitu juga UBER bukanlah konsep taksi yang diatur. Tapi tentu saja, masalah ini sudah relatif selesai dengan adanya kepastian hukum. Poin di sini adalah jika ada argumen (non hukum) yang kuat, tentu suatu program dapat dijadikan eksepsi terhadap aturan tersebut.
4. Tidak memuat isu Politik
Isu Korupsi, soal Ahok bukanlah masuk dalam ranah diskusi teknis pengembangan dan pembangunan. Korupsi dalam proyek besar, misalnya kalau saja ada korupsi di kilang Natuna, apakah berarti proyek tersebut perlu digagalkan? Tentu saja tidak. Potensi program yang dilakukan haruslah dijadikan pertimbangan yang matang. Tentu saya pribadi tidak setuju dengan cara Ahok yang terburu-buru melegalkan reklamasi. Program yang besar biayanya dan memiliki risiko yang sangat tinggi pada kehidupan diperlukan planning yang matang agar berhasil dan memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Untuk menghilangkan bias yang membuat buruk alur diskusi, sebaiknya tidak membawa nama Politik dalam diskusi ini.
Sekian dulu artikel dari saya. Semoga kita semua bisa dewasa dan kritis dalam menghadapi pembangunan ini.
Salam.
Neo (29/7/2016, 21:40 WIB)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H