Dan Ironisnya  di sini adalah : Orang-orang kontra Reklamasi mengaku mayoritas peduli lingkungan, tapi tampaknya tidak komplain dengan Nelayan dan orang-orang kecil di Bantaran Sungai yang turut berkontribusi dengan kerusakan lingkungan.
2. Tidak Menyalahgunakan Otoritas
Menyalahgunakan pendapat ahli dan otoritas adalah salah satu kebiasaan yang paling disukai, bahkan orang yang berpendidikan pun sering tersandung dengan kesalahan ini. Orang mungkin menyebutnya 'Taqlid Buta', percaya pada otoritas tanpa akal.Â
Kesalahan yang pertama adalah menggunakan otoritas yang valid tanpa verifikasi yang jelas. Professor sekalipun, bisa saja melakukan kesalahan, karena itu ada yang namanya sistem peer-review di Jurnal dan ada komunitas/grup pakar yang membahas suatu masalah sosial. Jadi sekalipun pendapat itu berasal dari orang yang bergelar Ph.D., Prof, atau apapun sekalipun, jika itu berupa hipotesis tanpa lolos screening review atau komunitas, maka hal itu layak dikritisi lebih dalam, dasarnya bukan teori atau hasil riset, tapi kemungkinan adalah hipotesis.Selain itu, dalam menulis suatu artikel dalam hal yang kontroversial, menjawab lawan adalah hal yang perlu, untuk meyakinkan pembaca akan argumen anda.
Kesalahan yang kedua adalah menggunakan otoritas yang tidak valid sebagai argumen. Kesalahan ini sering dilakukan media tipikal tentara padang pasir yang tanpa kesadaran akademik menggunakan lagu Iwan Fals dan Penulis Novel seperti 'Tere Liye' yang sempat dilakukan dahulu. Yang sering membuat kelompok antireklamasi tersandung juga adalah mengutip 'sesepuh' masyarakat, seperti Budayawan dan Pemuka Agama.
Selain itu, diperlukan kecocokan otoritas dalam suatu masalah. Misalnya anda tidak bisa mengutip LSM yang mewakili Nelayan untuk kajian saintifik Reklamasi (kecuali sudah memahami dan melakukan riset dalam tentunya), atau mengutip WALHI untuk menyelesaikan masalah sosial dengan Nelayan dan sebagainya.
Perlu dicatat juga, argumen berdasarkan satu otoritas TIDAK konklusif, sehingga anda tidak bisa mengutip WALHI seperti di atas sebagai alasan untuk 'membatalkan reklamasi'. Ini adalah penyalahgunaan Otoritas. Suatu otoritas bisa dikutip untuk membahas POINT tertentu, bukan masalah secara keseluruhan.
3. Tidak Mengabsolutkan Hukum dan Etika
Hukum adalah satu-satunya kaki argumen yang solid pada kelompok anti-reklamasi, maka dari itu taring paling tajam mereka pun ada pada ranah hukum. Tapi kalau diperhatikan, pemerintah pusat yang tidak dapat dikatakan pro-Reklamasi pun sebenarnya open minded terhadap masalah ini, misalnya Rizal Ramli yang sebenarnya hanya mempersoalkan pulau G (oleh Agung Podomoro), begitu pula dengan Menteri Susi yang sebenarnya tidak menolak mentah-mentah, malah open-minded terhadap Reklamasi, termasuk Jokowi yang akhirnya memberikan izin dengan syarat pada pengembang.
Hukum yang fleksibel pun bisa kita lihat di GO-JEK, UBER, dan GRABBIKE. 3 Fasilitas ini sebenarnya secara hukum salah, yang diakui oleh Ahok, Jonan, dan beberapa orang di pemerintahan juga, karena Motor bukanlah kendaraan Umum, begitu juga UBER bukanlah konsep taksi yang diatur. Tapi tentu saja, masalah ini sudah relatif selesai dengan adanya kepastian hukum. Poin di sini adalah jika ada argumen (non hukum) yang kuat, tentu suatu program dapat dijadikan eksepsi terhadap aturan tersebut.