Penggusuran dan Relokasi oleh Pemprov DKI tampaknya memancing beberapa orang yang bisa dikatakan 'pahlawan kesiangan'. Mereka adalah orang yang 'aktif' di sosmed membela orang miskin seperti moralis mendadak, tetapi setelah beberapa lama, orang-orang ini akan menghilang tanpa memberikan bantuan sepeser pun kepada yang bersangkutan yang mewakili mulut besar mereka di Sosial Media, bahkan mungkin beberapa dari mereka sekarang sedang meminum kopi Starbucks atau terlelap dalam gaya Hedonisme Jakarta. Tipe seperti ini tidak berkontribusi banyak tetapi ngomongnya tampak seperti manusia tersuci dunia.
Seperti Ayat Kitab Suci saya mengajarkan kalau simpati adalah percuma tanpa perbuatan yang konkrit, tipe manusia ini tidak memberikan solusi, tidak menggunakan dan memutar otak mereka untuk melakukan studi dan memberikan arah intelek pada pemecahan masalah yang solutif, hanya tong kosong klaim berlebihan dan tanpa dasar yang mereka berikan. Sebagian menggunakan HAM sebagai dasar, tapi akan meludahi HAM sebagai konsep Barat pada saat masalah sosial yang lebih sensitif terjadi (Bali 9, Aliran sesat seperti Gafatar dan Ahmadiyyah, LGBT, dsb). Sudahlah orang seperti ini tidak memerlukan banyak baris untuk diladeni, bisa ke-GRan mereka nanti.
Selain 'pahlawan kesiangan'. muncul pula salah satu grup yang lebih memiliki nilai kehormatan yang tinggi, tetapi menurut saya tetap pantas untuk dikritik adalah grup 'Tong Kosong' Ini adalah tipe seperti LSM Sosial, tokoh seperti Jaya Suprana dan Ratna Sarumpaet, yang meskipun dapat diapresiasi karena konsistensi mereka membela orang yang tertindas dan kecil, kerja mereka tidak bisa dirasakan sesignifikan mulut dan kritik keras mereka. Sesuai dengan definisi dud yang dalam Bahasa Indonesia artinya 'gagal/tidak berfungsi', Bagaikan kepala misil yang gagal meledak, tidak ada kontribusi yang berarti dari mereka.
Pertama, kilas balik ke permasalahan utama. Mengapa penggusuran terjadi? Sesuai yang saya jelaskan di artikel saya sebelumnya di sini, Perumahan kumuh adalah masalah sosial yang ada di banyak negara. Taraf hidup mereka yang rendah menyebabkan kualitas hidup yang rendah di berbagai sektor lainnya (Kebersihan, kesehatan, pendidikan, kriminalitas, dan kegiatan asusila lainnya), seperti yang ditampilkan oleh hasil penelitian Masoumeh, 2012. Adanya taraf hidup yang lemah disebabkan karena penghasilan mereka yang rendah, tingkat pengangguran yang tinggi, dan sebagainya. Uniknya di Jakarta, tidak hanya menyebabkan masalah sosial, sebagian besar dari mereka tinggal di tanah negara yang tidak memiliki legal standing yang kuat.
Mengapa penghasilan mereka rendah? Jawabannya terletak pada korelasi positif antara penghasilan dan PENDIDIKAN yang terdapat dalam warga lingkungan kumuh. Menurut penelitian Fitria, 2014 dalam studi yang dilakukan di pemukiman kelas rendah, terdapat korelasi positif antara penghasilan warga dan tingkat pendidikan. Misalnya dalam sumber tersebut diperlihatkan bahwa pemukiman terkumuh dari yang terkumuh memiliki penghasilan sekitar maksimal 1.6 Juta dan pendidikan yang ada rata-rata adalah lulus SD. Sementara daerah yang lebih baik, rata-rata memiliki lulusan SMP/Sederajat dengan penghasilan yang lebih baik (maksimal sekitar 2.5 juta)
Demikian, kita bisa tahu, kurangnya pendidikan adalah faktor yang mempengaruhi kemiskinan dan adanya perumahan kumuh sendiri. Hal ini diungkapkan juga oleh penelitian yang dilakukan oleh Widyasworo, 2009, dimana ada korelasi kemiskinan dan pendidikan yang tinggi. Pendidikan, menurut Todaro, 2000 merupakan kunci dari pembangunan yang merata, selain itu pendidikan juga dapat meningkatkan penyerapan teknologi modern.Â
Lebih dari itu, pendidikan sebenarnya memiliki fungsi yang vital, yaitu fleksibilitas. Dalam penelitian Widyasworo, 2009 yang sebelumnya disebutkan, terdapat hubungan yang positif antara pendidikan dengan kualitas SDM hasil lulusan S1, D3, dan SMA. Pendidikan yang tinggi dapat membuat fleksibilitas kerja dan kualitas SDM meningkat. Fleskibilitas hal ini dapat diartikan ilmu dari pendidikan dapat diaplikasikan hanya tidak di satu sektor.
Misalnya kasusnya kalau di Pasar Ikan, Dalam artikelnya, Musni Umar melakukan tinjauan langsung yang mengatakan bahwa alternatif solusi untuk kehilangan pekerjaan mereka ditawarkan modal usaha dagang 5 - 10 juta. Dan tidak mengejutkan jawaban mereka adalah 'tidak bisa'. Ini adalah hal yang membuktikan bahwa pemikiran banyak orang yang tinggal di lingkungan kumuh ini masih simple-minded, saking terlalu simpel hidup mereka, mereka menjadi warga yang hanya tahu satu trik saja : Menangkap Ikan.
Hal ini adalah guna pendidikan yang utama : Fleksibilitas pemikiran, sehingga jika anda dipecat dari satu pekerjaan, akan lebih mudah mencari pekerjaan lain yang mungkin tidak dalam satu disiplin mereka. Hal ini vital dalam hidup, seperti yang diajarkan dosen saya dalam perkenalan kehidupan berkampus dahulu, fungsi utama pendidikan adalah meningkatkan experience dan keterampilan penduduk dalam berusaha dan meningkatkan kualitas hidupnya, teori yang anda pelajari hanya 'penunjang' dan tidak akan 100% dipakai. Tidak mengherankan mengapa lulusan S1 saja sebenarnya bisa bekerja di ranah yang terkadang menyimpang dari fokus ilmunya, misalnya S1 Teknik dapat bekerja menjadi advisor, guru, dan dapat menjadi pengusaha dengan bekal ilmu mereka. Selain fleksibilitas pemikiran, sikap minder mereka pada orang sukses akan turun, karena berkontribusi dalam penelitian dalam tingkat akademik yang tinggi memampukan mereka percaya diri dalam hasil karya sendiri.Â
Nah...pertanyaannya di sini kenapa warga di pemukiman kumuh ini pendidikannya masih separah yang sekarang? Jelas pertama yang paling mungkin adalah kesadaran mereka akan pendidikan yang masih kurang. Kesadaran pendidikan yang masih kurang membuat mereka tetap hidup dalam kemiskinan. Hal inilah, dimana peran grup 'Tong Kosong' dan 'Pahlawan Kesiangan' ini dipertanyakan, mengapa penentang Pemprov (dan Ahok) seperti Haji Lulung, Taufik, Yusril Ihza Mahendra, dan ormas seperti Ratna Sarumpaet Centre dan Ciliwung Merdeka yang 'dekat dengan rakyat kecil' tampak kurang kontribusinya dalam kunci pertama keluar dari kemiskinan? Padahal mereka banyak membela rakyat miskin, sementara jalan keluar utama adalah pendidikan? Mengapa pendidikan masih rendah di kalangan rakyat miskin? Mengapa hal ini terjadi?
Saya tidak tahu jawabannya, tetapi saya beropini, mereka semua belum tahu efek signifikan pendidikan bagi kemajuan dan empowerment rakyat sipil yang kurang punya atau cuma tidak peduli, meskipun tahu atau tidak pentingnya pendidikan itu. Kemungkinan yang satu lagi adalah, mereka pro kemiskinan, bukan rakyat yang miskin. Seperti salah satu hasil diskusi saya dengan Kompasianer yang berpendapat kalau 'mereka itu hanya memikirkan hal yang simpel, tidak idealis karena tidak berpendidikan'. Orang seperti ini saya yakin masih banyak dan nyata, ini hanya bentuk dari sentimen pribadi yang tidak menginginkan satu orang berusaha dan berakar pada nurani/perasaan pribadi, bukan logika.