Mohon tunggu...
Yoshua Reynaldo
Yoshua Reynaldo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang : Kristen, Filsuf Stoa amatir, penikmat sejarah era tengah dan modern, dan manusia yang terbiasa menganalisis dan kritis pada banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Kata Kasar Ahok Dibenci?

24 Maret 2016   09:02 Diperbarui: 24 Maret 2016   09:14 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Orang fanatik yang mengakui prinsip public shaming (cambuk, dll) di depan umum. Di mana, efeknya akan berlanjut pada sanak saudara orang yang dihukum. Dalam konteks masyarakat kolektif, prinisip 'privasi' adalah hal yang hampir tidak ada. Mungkin kita pernah mendengar ungkapan : "Satu tahu, satu desa tahu." Jadi memang, public execution tujuannya adalah untuk mempermalukan offender dan keluarganya, karena keluarga diasumsikan bertanggung jawab dengan kelakuannya, seperti ungkapan kalau ada anak terjerumus ke seks bebas : "Orangtuanya didik dia, nggak sih?".

Hal ini tampaknya self-contradictive dengan orang fanatik yang terlalu mempermasalahkan etiquette Ahok yang berteriak di depan publik, padahal yang mereka akui (cambuk, dll) itu esensinya sama dengan hal itu : pengucilan, mempermalukan, dan sebagainya, terlepas tuduhan Ahok itu benar atau tidak, itu masalah yang lain. Mengatakan kata 'Bajingan', 'Kotoran', 'Nenek Lu', tidak lebih adalah salah satu metode kontrol sosial yang memang banyak digunakan untuk mempermalukan orang tersebut dan men-encourage masyrakat untuk menjauhi orang itu, bukan malah BERSIMPATI dengan yang dihina, terlepas dari benar atau tidak posisi Ahok, metode ini adalah metode yang valid dilakukan sebagai sistem kontrol sosial.

Habib Rizieq, salah satu sesepuh FPI pun menggunakan taktik ini, strong words seperti Pancasila Soekarno itu Ketuhanannya di pantat, mengatakan Gus Dur buta mata dan buta hati, dan baru-baru ini mengatakan Campur Racun. Tentu saya tidak setuju dengan banyak stetmen Rizieq ini, karena tersimpan personal attack pada Gus Dur (buta mata) dan ejekan campur racun itu tidak ada esensinya, mengingat banyak etnis Sunda yang membackup FPI juga. Maka dari itu, sebenarnya memang ironis orang yang mementingkan akhlak berlebihan sebenarnya mengakui taktik polemik yang digunakan Ahok.

Maka dari itu, saya menilai public critic ke metode shaming Ahok ataupun Emil sebenarnya agak berlebihan. Celaan, public shaming adalah hal yang bahkan sekolah kita pun masih mengimplementasikan penyetrapan, hukuman fisik (push-up, jalan jongkok, berdiri sambil mengangkat satu kaki), tapi kita tidak pernah mengatakan hal yang mempermalukan murid di depan umum itu adalah kejam, kita mengatakannya adalah 'Disiplin'. Tentu kalau anda memang konsisten tidak mau menyakiti kehormatan seseorang, apakah tidak harusnya cara disiplin itu dihapuskan sekalian? 

 

NeoTruthseeker

24/3/2016

- 9:01, WIB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun