Mohon tunggu...
Arianto Siregar
Arianto Siregar Mohon Tunggu... -

A family man and education is his passion. Sometimes we need to be alone but that doesn't make us lonely.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Distorsi Bahasa Elite Politik

22 Februari 2015   09:46 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:43 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengkhianatan Pada Kata

Distorsi bahasa elite politik merupakan wujud ketidaksetiaan, pelanggaran atau pengkhianatan para elite politik kepada Bahasa Indonesia. Dalam konteks politik, bahasa digunakan dengan sangat dinamis oleh para elite politik, terutama ketika mereka berinteraksi dengan para konstituen. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh faktor tujuan politik yaitu kekuasaan. Dinamika bahasa dalam konteks politik tersebut tidak terlepas dari perilaku berbahasa oleh para elite poltik itu sendiri yang cenderung tidak terkontrol karena kealpaan peraturan formal yang mengatur tata pengguanaan bahasa Indonesia. Tendensi berbahasa semacam ini menyebabkan munculnya prilaku berbahasa yang liar dan bebas.

Dalam kajian linguistik, pelanggaran adalah perbuatan (perkara) melanggar (Alwi,dkk 2003:634). Pelanggaran bisa terjadi karena seseorang melanggar kaidah-kaidah atau aturan yang berlaku dalam berbahasa. Prinsip kooperatif dan empat maksim percakapan merupakan kaidah atau aturan dalam berbahasa yang baik dan benar. Kata prinsip diartikan sebagai asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dsb.) dasar. Sementara kooperatif merupakan cerminan adanya sifat kerja sama; bersedia membantu. Jadi prinsip kooperatif adalah kerja sama yang taat dalam asas (Alwi, 2003:896).

Prinsip kerja sama yang harus dipatuhi penutur dan lawan tutur agar proses komunikasi berjalan dengan lancar. Dalam rangka melaksanakan prinsip kerja sama itu setiap penutur harus mematuhi empat maksim (kaidah) percakapan (conversational maxim). Kaidah percakapan yang dikemukakan oleh Grice adalah sebagai berikut: (1) maksim kualitas (maxim of quality); dalam berinteraksi, penutur harus mengatakan sesuatu yang benar dan jangan mengatakan sesuatu tanpa bukti yang cukup dan kuat; (2) maksim kuantitas (maxim of quantity); menghendaki penutur untuk memberikan keterangan secukupnya dan jangan mengatakan sesuatu yang tidak diperlukan; (3) maksim relevan (maxim of relevance); menghendaki penutur membuat tuturan yang berguna atau relevan; dan (4) maksim cara berbicara (maxim of manner); mengharuskan penutur untuk menghindari ungkapan yang tidak jelas, ambigu (bermakna ganda), dan berbicaralah dengan singkat dan secara khusus.

Salah satu pegangan atau kaidah percakapan ialah bahwa pendengarnya menganggap bahwa pembicaranya mengikuti dasar-dasar atau maksim di atas. Jika terdapat tanda-tanda bahwa satu maksim dilanggar, maka harus diputuskan bahwa ada sesuatu di balik apa yang dikatakan. Bahkan hal tersebut bisa mengindikasikan adanya suatu kebohongan yang dimanipulasi lewat kata-kata. Yule (1996:70) menyimpulkan bahwa penuturlah yang menyampaikan makna lewat implikatur, dan pendengarlah yang mengenali makna-makna yang disampaikan lewat infrensi itu.

Pelanggaran terhadap maksim percakapan akan menimbulkan kesan yang janggal. Kejanggalan itu dapat terjadi jika informasi yang diberikan berlebihan, tidak benar, tidak relevan antara ucapan dan realita, atau berbelit-belit. Kejanggalan seperti inilah yang penulis sebut dengan distorsi (wujud ketidaksetiaan, pelanggaran atau bahkan pengkhianatan) bahasa yang biasanya sering ditemukan dalam tuturan-tuturan elite politik, terutama pada musim/tahun politik atau ketika atmosfer politik menghangat seperti saat ini.

Mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu (Austin, 1993:8). Dengan kata lain, ucapan (bahasa) dapat menjadi pemicu (trigger)timbulnya suatu kejadian/perbuatan. Dalam kajian linguistik, hal ini lazim disebut daya ilokusi bahasa. Austin juga memberikan perbedaan antara perbuatan lokusi, ilokusi, dan perlokusi sebagai berikut: (1) lokusi dari suatu ucapan ialah makna dasar dengan referensi dari ucapan itu, (2) ilokusi dari suatu ucapan ialah daya yang ditimbulkan oleh pemakainya sebagai suatu perintah, ejekan, keluhan, pujian, janji, kebohongan, dan sebagainya, dan (3) perlokusi dari suatu ucapan adalah hasil, efek, dan implikasi dari apa yang diucapkan pada pendengarnya.

Di negara demokrasi seperti Indonesia, era reformasi nyatanya tidak menjadi jaminan bahwa pengkhianatan terhadap kata-kata telah lenyap bersama era orde baru yang penuh kebohongan. Lima belas tahun setelah reformasi digulirkan, transformasi dan perkembangan demokrasi Indonesia tak obahnya seperti mengenakan baju secara terbalik. Demokrasi yang seharusnya dihiasi dengan kejujuran dalam bertutur justru seolah menghidupkan kembali sejarah kelam yang pernah membonsai dan mengangkangi kreatifitas anak negeri. Cermatilah penggalan kalimat-kalimat berikut:

“Gelengkan kepala dan katakan”, “tidak”

“Abaikan rayuannya dan katakan”, “tidak”, “tidak”

“Tutup telinga dan katakan”, “tidak”, “tidak”

Petikan kalimat-kalimat di atas hanya sedikit dari sekian banyak tuturan-tuturan elite politik dengan tujuan untuk mendapatkan kepercayaan para konstituen atau masyarakat. Pelanggaran tersebut sangat jelas kelihatan dari ketidakmampuan penutur dalam mematuhi unsur-unsur maksim dalam tuturannya.

Bagaimana jika dianalisis dengan teori linguistik? Teori lokusi, ilokusi, dan perlokusi yang ditawarkan oleh Austin tentu bisa dikedepankan untuk mengupas bentuk pengkhianatan (distorsi) terhadapa kata-kata oleh para elite politik. Petikan tuturan “Katakan tidak pada korupsi” merupakan iklan politik yang sangat bernas pada masanya. Tuturan dalam konteks politik seperti ini, dari sudut lokusi menegaskan kepada pendengar (konstituen) tentang ‘penggambaran keadaan partai dengan segenap jajarannya yang antikorupsi. Dipandang dari sudut ilokusinya ucapan itu melahirkan dua hal, pertama merupakan janji atau komitmen bahwa memang benar partai dan segenap jajarannya antikorupsi. Yang kedua bahwa sebaliknya jika partai atau oknum partainya melakukan korupsi, maka ucapan itu menjadi sebuah kebohongan atau pernyataan yang menyalahi maksim kualitas.

Selanjutnya, perlokusi dari ucapan tersebut, secara politik akan memiliki dua efek atau pengaruh pada pendengarnya. Pertama, jika pendengar yakin (karena partai atau oknumnya memang secara empiris antikorupsi), makakonstituen akan memberikan amanah kepada mereka. Yang kedua, para konstituen akan kecewa, marah, bahkan tidak percaya (distrust) dan secara politik akan meninggalkan partai itu apabila pada kenyatannya partai atau oknumnya melakukan korupsi. Tuturan-tuturan dalam konteks politik semacam ini bisa bersifat langsung maupun tidak langsung.

Tidak jauh berbeda dengan salah satu statemen salah satu Cawapres yang sedang bertarung pada pemilu presiden tahun ini. Dalam acara bertajuk Debat Capres/Cawapres edisi pertama beberapa hari yang lalu, sang Cawapres mengucapkan kalimat berikut: “kita semua harus sama di depan hukum, tidak boleh ada diskriminasi”. Semua kita pastinya sangat bersetuju dengan komitmen yang sangat bermakna tersebut. Namun, sangat disayangkan jika sesungguhnya ucapan Cawapres 2014 yang sudah kenyang dengan pengalaman di berbagai kementerian itu, sangat bertolak belakang dengan salah satu pase jejak rekam hidup beliau, yaitu kasus hukum yang menimpa salah satu putranya.

Secara linguistik, ujaran ini tentu tidak sejalan dengan prinsip atau maksim kualitas, yaitu seorang penutur dalam konteks dan untuk kepentingan apapun harus mengatakan yang sesuatu yang benar atau setidaknya penutur harus memiliki bukti yang cukup (adequate evidence) untuk memperkuat kebenaran ujarannya tersebut.

Interpretasi lain tentu akan diperoleh jika pernyataan tersebut dianalisis dari aspek lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Dari sudut lokusi, ujaran mantan Menko Perekonomian Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II tersebut menegaskan kepada pendengar (konstituen) tentang ‘pendapat dan pemahaman beliau tentang posisi dan hak setiap warga negara di mata hukum. Sementara dari aspek ilokusi, ucapan itu memunculkan dua interpretasi bagi pendengar. Pertama, ucapan tersebut merupakan janji atau komitmen bahwa memang beliau akan selalu menjadikan hukum sebagai panglima dan tentu saja setiap warga negara tidak akan mendapatkan diskriminasi di mata hukum. Kedua, sebaliknya ucapan itu menjadi sebuah kebohongan atau pernyataan yang bertolak belakang dengan realita.

Sementara perlokusi dari ucapan tersebut, secara politik akan berimplikasi pada dua hal. Pertama, jika pendengar yakin (karena beliau secara empiris memang tidak pernah menerima diskriminasi atau perlakuan khusus di mata hukum), makakonstituen akan memberikan amanah kepada beliau. Yang kedua, para konstituen akan kecewa, marah, bahkan tidak percaya (distrust) dan secara politik tidak akan memilih beliau karena apa yang diutarakan adalah kebohongan.

Bagaimana dengan bahasa Bapak Presiden Joko Widodo dalam jumpa pers mendadak di Istana, Minggu malam (25/1), terkait dengan pengambilan langkah atau keputusan terkait masalah KPK-Polri? Berikut beberapa petikan dari pidato Presiden Jokowi tersebut:

"Jangan ada kriminalisasi, proses hukum yang terjadi harus dibuat terang benderang, transparan,"

"Agar proses hukum dapat berjalan baik, jangan ada intervensi dari siapa pun,"

“.... agar tak ada pihak yang merasa merasa di atas hukum,”

Dalam konteks politik, ucapan-ucapan semacam itu bertujuan untuk membentuk persepsi di mata publik dan tentu saja bahasa yang dirangkai dengan kata-kata yang baik dan tepat akan menjadi instrumen utama. Pada tataran inilah aspek lokusi, ilokusi, dan perlokusi harus menjadi perhatian. Karena daya ledak yang terkandung dalam kalimat tersebut akan menentukan besar kecilnya efek politik tuturan itu kepada penuturnya. Konstituen yang notabene pemilik suara, baik yang beraliran sosio-kultural maupun rasional akan selalu mencari dan menggunakan rekam jejak (track record) penutur sebagai referensi utama dalam menginterpretasi setiap ujaran yang disampaikan.

Paparan di atas hanya sebagian dari begitu banyak contoh betapa para elite politik, pengambil kebijakan (decision maker), dan public figure sering berkhianat dan tidak setia pada kata-kata. Sangat jamak didengar bahwa kata-kata justru dikhianati oleh sang pengucapnya sendiri. Parahnya, pengkhiantan itu dilakukan seolah tanpa beban, tanpa perasaan berdosa dan diulang-ulang sebagai sebuah kebiasaan yang berpola. Semua kata-kata yang telah mereka khianati seakan hilang tanpa makna. Hal tersebut sepertinya sejalan dengan salah satu bait sajak Sapardi Djoko Damono “Begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai bertebaran dan menyesakkan udara”.

Release data terbaru dari Kemendagri menunjukkan bahwa 318 dari 524 kepala daerah berstatus tersangka dan sebagian besar sudah terpidana atau berkekuatan hukum tetap (inkracht). Hal senada juga disampaikan oleh Prof. Denny Indrayana, LLM, PhD (Mantan Wamenkumham RI) bahwa 70% kepala daerah di Indonesia terjerat kasus korupsi. Tingginya presentase status tersangka yang menimpa oknum eksekutif (kepala daerah), yudikatif, legislatif, PNS, bahkan kalangan swasta di era reformasi seakan membuka mata rakyat Indonesia jika pengkhianatan terhadap kata-kata telah mengalami pelembagaan.

Tidak terbantahkan bahwa sebelum mereka terpilih menjadi pemimpin atau abdi negara, sudah ratusan bahkan ribuan kata mereka umbar, termasuk komitmen dan integritas akan pemberantasan korupsi, bahkan mereka disumpah atas nama Tuhan. Namun, mereka tetap tak bersetia pada kata. Berkaitan dengan hal tersebut, Benedict R.O.G. Anderson (seorang ahli Indonesia terkemuka) mengatakan bahwa pengkhiantan terhadap kata-kata yang telah terlembagakan pada gilirannya telah dijadikan sebagai salah satu senjata untuk mempertahankan kekuasaan.

Apabila kata-kata dimanfaatkan sebagai alat atau senjata untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan tentu mengandung risiko. Risiko semacam inilah antara lain yang digambarkan dengan baik oleh Zbigniew Brzezinski (asisten Presiden AS Jimmy Carter untuk urusan keamanan) dalam bukunya berjudul The Grand Failure: The Birth and Death of Communism in the Twentieth Century (1989). Menurut Brzezinski, salah satu embrio penyebab runtuhnya sistem komunis yang totalitarian adalah dipraktikkannya penyederhanaan berlebihan besar-besaran (grand oversimplification). Praktik yang meracuni demokrasi ini ditopang oleh pekerjaan-pekerjaan manipulasi makna, yaitu manipulasi melalui kata-kata dengan serangkaian pola dan sistem yang baik. Hal itulah salah satu yang melatarbelakangi mengeroposnya internal komunisme lalu akhirnya hancur.

Penutup

Sebagai salah satu simbol negara, sangat layak agar bahasa Indonesia mendapatkan perhatian lebih dari semua elemen bangsa, terutama para pemangku kebijakan. Tentu saja tulisan ini dibuat bukan untuk mendiskreditkan seseorang ataupun kelompok tertentu, melainkan untuk mengajak memperbaiki perilaku berbahasa siapapun yang sudah melenceng jauh dari tatanan normatif kebahasaaan dan menyelamatkan simbol negara dari porak poranda dan hegemoni politik yang tidak mencerdaskan. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk mengembalikan bahasa Indonesia kepada jati dirinya sebagai bahasa nasional yang seharusnya berwibawa dan bermartabat, dan tentunya harapan ini juga menjadi harapan seluruh masyarakat Indonesia.

Pengkhianatan pada kata-kata dengan segenap konsekuensinya tentu sebuah permasalahan besar yang tidak saja sangat pantas mendapatkan perhatian, tetapi juga harus menjadi agenda masa depan. Reformasi dengan semua onak dan durinya sudah memberikan amanah sebagai sebuah tugas bersejarah bagi setiap anak negeri untuk mengeluarkan bangsa ini dari sindrom ketidakpercayaan pada kata-kata sebagai warisan masa lalu orba.

Membangun karakter sistem politik yang kredibel, responsif, kompeten, akuntabel, representatif dan transparan dengan aparatur yang berkarakter sama adalah agenda utama untuk mengisi bangun ruang reformasi yang menjadi pra syarat utama agar kita bisa keluar dari sindrom ketridakpercayaan dan tidak bernasib seperti yang digambarkan Brzezinski.

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun