Mohon tunggu...
Trubus Khusnul Karim
Trubus Khusnul Karim Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menjadi manusia yang "hidup" melalui tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jeda Dulu Sejenak, Masih Ingatkan Kata Syukur?

15 Oktober 2024   12:57 Diperbarui: 15 Oktober 2024   13:04 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore ini, saya beranjak dari kamar kos menuju warung makan sederhana yang sebelumnya sudah pernah saya kunjungi. Saya berangkat menggunakan motor kesayangan yang setia menjadi rekan perjalanan saya kemana pun saya pergi. Setelah memastikan semuanya aman, segeralah saya menancap gas dan saatnya untuk menikmati perjalanan.

Angin luar menyegarkan tubuh yang sedari tadi terkungkung di dalam kamar kos yang pengap dan panas. Pepohonan pun ikut menari terkibas angin sore, mengiringi perjalanan saya kali ini. Kumpulan awan menutupi birunya langit dan senja yang menghasilkan suasana gelap dramatis.

Sementara itu, motor saya terus menerabas jalanan aspal tua kota ini. Tak lama kemudian, saya melihat dengan lamat beberapa motor terparkir di tepi jalan. Lantas, saya melepaskan gas secara perlahan sembari menepikan motor dan masuk ke dalam jajaran motor tadi. Warung sederhana sudah ada di hadapan saya.

Senyum hangat Bu Een menyambut kedatangan saya.

"Monggo Mas," ucap pak Beji selaku suami dari Bu Een si pemilik warung.

"Ngambil piyambak nggeh Pak?"

"Nggeh Mas, monggo, monggo.." jawab ramah Pak Beji mempersilahkan saya untuk mengambil makan sendiri, bebas.
Sebenarnya saya sudah tahu bahwa warung ini mempersilahkan pengunjung mengambil makanan sendiri, untuk basa-basi saja.

Asap mengepul saat saya membuka penghangat nasi jumbo. Mengambil nasi secukupnya, lalu sayur dan tak lupa lauknya. Air putih, teh hangat, bahkan minuman kemasan juga tersedia. Saya mengambil teh hangat sebagai pilihannya.

Meja dan bangku kayu terlihat masih lengang, namun situasi berubah saat beberapa suapan sudah masuk ke mulut saya. Beberapa pria paruh baya datang memenuhi meja dan bangku kayu yang sedari tadi lengang. Sembari menikmati suapan demi suapan kami pun sedikit berbincang.

Diketahui, mereka merupakan kuli dari proyek yang sedang dibangun tidak jauh dari warung. Kulit kering mengkilap menjadi bukti betapa panasnya siang tadi. Juga dengan telapak tangannya yang kapalan menjadi penguat doa saat mereka menengadahkan telapak tangannya kepada yang Maha Kuasa.

Bayangan dan pertanyaan bermunculan di kepala saya. Akan tetapi saya tidak berani melemparkan semua pertanyaan yang muncul. Alih-alih berempati, bisa jadi rasa kepo membuat mereka tidak nyaman dengan pertanyaan saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun