“Hmm….saya mau ke Surabaya, ke rumah kakak ipar saya untuk mengabarkan suatu hal”, jawab nyonya itu.
“Lalu suami anda…?”
“Dia baru saja wafat tiga hari yang lalu”
“Oh maaf nyonya…ehm saya turut berduka cita atas wafatnya suami nyonya.”
Waktu pun telah berlalu dua jam lamanya. Hari kini mulai beranjak sore, kereta api delapan gerbong yang kini kunaiki mulai menembus senja. Obrolanku dengan nyonya ini semakin menarik saja, dan nampaknya si nyonya mulai melupakan anaknya yang belum juga ditemukan.
Saat ini aku mulai tahu banyak tentang nyonya itu. Ternyata yang duduk di bangku nomor 12 adalah anaknya dan yang duduk di bangku nomor 15 yang ada disebelahku adalah suaminya yang kini telah wafat semenjak tiga hari yang lalu. Suaminya adalah seorang polisi lokal. Ia wafat karena tertembak ketika terjadi baku tembak dengan para perampok bank tiga hari yang lalu.
Semula mereka bertiga memang hendak liburan ke rumah Nenek anak semata wayangnya di Surabaya. Kematian sang Ayah pada mulanya membuat rencana kepergian Si Nyonya dibatalkan. Namun karena si Nyonya kemudian mendapat kabar bahwa ibundanya di kampung halaman sedang sakit keras, dan dengan pertimbangan tiket yang sudah dipesan, jadilah mereka berdua memaksakan diri pergi ke Surabaya meskipun masih dalam suasana duka.
“Maaf nyonya apa makanan favoritmu?”, tanyaku.
“Hm…aku amat menyukai cokelat, suamiku dan anakku juga menyukainya. Cokelat sudah lama menjadi makanan favorit keluarga kami.”, jawabnya. “Kalau anda Tuan?”
“Hmm…aku juga suka cokelat, tapi terkadang aku juga suka permen dan juga kembang gula. Pokoknya semua makanan yang manis-manis aku menyukainya.”, jawabku.
Tiba-tiba si nyonya itu mengeluarkan sebuah kotak dari tas kecil yang diipangkunya. Dan ia membuka kotak itu. Ternyata isinya adalah cokelat.