Mohon tunggu...
Steven Gerrard
Steven Gerrard Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, S1 Informatika

Saya Steven Gerrard, mahasiswa jurusan Informatika Universitas Muhammadiyah Sidoarjo dari tahun 2022 hingga saat ini. Sebagai seorang mahasiswa jurusan Informatika yang berdedikasi untuk kemajuan teknologi indonesia, saya memiliki minat yang kuat dalam teknologi pengembangan website dan android. Selain itu, saya juga memiliki kemampuan analitis yang tinggi dan dapat memecahkan masalah dengan efektif. Saya juga memiliki minat dalam mempelajari tren terkini dalam teknologi dan berpartisipasi dalam komunitas pengembang. Selain itu, saya juga memiliki ketertarikan dalam Machine learning

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Transformasi Kendaraan Listrik untuk Kelas Menengah

4 September 2024   13:06 Diperbarui: 4 September 2024   14:33 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Terhimpit. Satu kata yang menggambarkan kelompok pendapatan kelas menengah di Indonesia saat ini. Kelas menengah dan menuju kelas menengah memang memiliki kecukupan finansial di atas kebutuhan dasar. Namun, ini tidak berarti mereka memiliki kesejahteraan yang memadai dalam aspek lain. Mereka yang termasuk kelompok kelas menengah memiliki pendapatan Rp 1,2 juta - 6 juta, sedangkan kelompok menuju menengah memiliki pendapatan Rp 532 ribu - 1,2 juta(1).

Badan Pusat Statistik (BPS) melalui hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2021 mengatakan bahwa 69 dari 100 penduduk Indonesia adalah kelompok penduduk menuju menengah(2). Beberapa ekonom, termasuk dari LPEM UI, memperkirakan bahwa jumlah kelas menengah di Indonesia akan terus menurun menjadi menuju kelas menengah. Sepanjang tahun 2018-2023, proporsi kelas menengah berkurang dari 23 persen menjadi sekitar 17-18 persen(3). Penurunan ini tengah menjadi perhatian sebab kelompok menengah merupakan pendorong konsumsi yang penting bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

 Nasib pekerja kelas menengah makin nestapa karena bertambahnya rupa-rupa potongan gaji dan biaya hidup yang semakin mahal. Wacana Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sudah mereda, kini pekerja kelas menengah kembali dibayangi rencana kebijakan asuransi wajib kendaraan bermotor atau Third Party Liability (TPL). Belum lagi harus menghadapi wacana penghapusan bahan bakar subsidi jenis pertalite yang sudah dibahas sejak Agustus 2023 lalu, sejalan dengan program pemerintah untuk melakukan konversi dari kendaraan konvensional yang mengonsumsi BBM ke kendaraan listrik. 

Dengan dalih ramah lingkungan dan juga biaya operasional lebih terjangkau pemerintah terus mengampanyekan penggunaan kendaraan listrik. Hal tersebut terlihat dalam beberapa gelaran akbar di Indonesia. Lihat saja pada acara KTT G20 Bali, Indonesia berhasil menarik perhatian investor global dengan potensi besar yang dimilikinya untuk mengembangkan industri kendaraan listrik. Seluruh mobil resmi pada perhelatan tersebut menggunakan mobil listrik mulai dari Wuling Air Ev hingga Hyundai Genesis G80 Special Edition yang dikhususkan untuk para kepala negara.

Pemerintah Indonesia berupaya mendorong perkembangan industri kendaraan listrik di dalam negeri melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) No. 79 Tahun 2023, yang bertujuan mempercepat adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia. Kebijakan ini mencakup berbagai insentif, seperti pengurangan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan listrik serta pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) di beberapa daerah. Pemerintah juga berupaya menambah jumlah infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) secepat mungkin meskipun jumlahnya masih tergolong minim jika dibandingkan dengan jumlah pemiliki kendaraan bermotor.

Konversi ke kendaraan listrik di Indonesia sejatinya masih menemui jalan berbatu. Institute for Essential Services Reform (IESR) pada tahun 2024 mengungkapkan beberapa fakta kurang sedap perihal ide konversi kendaraan listrik ini. Infrastruktur masih menjadi kendala utama. Masyarakat acap kali kesulitan menemukan SPKLU, 71,2 persen responden dari penelitian IESR menyetujui hal tersebut. Kondisi tersebut sejalan dengan tingginya mobilitas kelompok kelas menengah yang membutuhkan stasiun pengisian bahan bakar lebih banyak. 

Kelompok kelas menengah di Indonesia cenderung punya sifat mobilitas tinggi. Biaya perumahan yang terjangkau acap kali hanya tersedia di pinggiran kota sedangkan lapangan kerja umumnya akan banyak tersedia di wilayah perkotaan, hal tersebut membuat kelas menengah selain membutuhkan transportasi yang murah juga ketersediaan infrastruktur pendukung yang memadai. Jika yang digaungkan adalah biaya operasional yang lebih minim, maka pada konteks ini tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah.

Penggantian baterai dan masalah operasional menjadi kendala utama berikutnya yang dinyatakan oleh 46,6 persen responden IESR. Masyarakat menengah khususnya dihadapkan pada pilihan yang pelik perihal transformasi ini. Baterai mobil listrik biasanya perlu diganti setiap 10 hingga 15 tahun atau setara 200 ribu kilometer. Biayanya pun tidak murah bisa mencapai sekitar 30 persen sampai 50 persen dari harga baru kendaraannya(3). Untuk kelompok kelas menengah yang “mendang-mending” tentu masalah ini menjadi masalah yang serius sebab kendaraan bukan satu-satunya permasalahan ekonomi kelas menengah. Selain baterai, masih ada durasi pengisian daya, performa, ketahanan, dan keamanan yang menjadi pertimbangan kelompok kelas menengah untuk adopsi kendaraan listrik secara luas.

Menilik lebih dalam, emisi nol pada kendaraan listrik juga cukup kontroversial di dunia internasional akhir-akhir ini. Kendaraan listrik memang memiliki gas buang nol dan disambut baik oleh banyak pihak. Namun, menjelang konferensi listrik Cop26 di Glasgow Volvo merilis bahwa emisi dari pembuatan kendaraan listrik 70 persen lebih tinggi dari kendaraan berbahan bakar bensin(4). Masalahnya terletak pada baterai lithium-ion yang dipasang pada semua baterai kendaraan listrik. Baterai lithium-ion selain dibuat dengan energi yang besar, sangat berat, juga memiliki karakter yang tidak terurai sehingga penggunaan kendaraan listrik untuk klaim melawan krisis iklim perlu dikaji kembali.

Selain masalah krisis iklim, salah satu faktor yang membuat harga kendaraan listrik menjadi lebih tinggi adalah Indonesia belum mampu untuk memproduksi baterai lithium-ion atau komponen pendukungnya secara mandiri. Padahal Indonesia diperkirakan memiliki sekitar 21 juta ton cadangan nikel, dimana angka tersebut merupakan 23% dari total cadangan nikel dunia. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil nikel terbesar di dunia. Nikel merupakan senyawa kimia yang berperan penting dalam baterai lithium-ion.

Bahkan pada tahun 2023, Indonesia kembali menegaskan posisinya yang strategis dalam industri baterai kendaraan listrik yang sedang berkembang pesat yaitu dengan memproduksi nikel sebanyak 3,6 juta metrik ton dan berada pada urutan pertama negara penghasil nikel. Sebagian besar tambang nikel di Indonesia bersemayam di pulau Maluku dan Sulawesi. Wilayah Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara adalah daerah penghasil nikel utama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun