Mohon tunggu...
Agung Budi Santoso
Agung Budi Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan teknik dan penulis lepas tinggal di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

Engineering consultant, content creator, and traveler.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Selayang Pandang Pengelolaan Sampah

20 Juli 2014   22:33 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:46 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian dari kita mungkin sering mendengar istilah TPA alias Tempat Pemrosesan Akhir. Dan istilah ini berkaitan dengan pengelolaan sampah di suatu wilayah kabupaten/kota. Secara umum sistem pengelolaan sampah di Indonesia didesain dengan sistem sanitary landfill walau pada prakteknya ada juga yang menggunakan sistem open dumping. Jika mengacu kepada UU No. 18 Tahun 2008 maka sistem yang harus dilakukan oleh masing-masing pemda tingkat kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah sistem sanitary landfill.

Semarang sebagai ibukota propinsi Jawa Tengah sudah memiliki TPA seluas 46 ha di wilayah Jati Barang. Maka tak heran jika masyarakat Semarang lebih mengenal dengan sebutan TPA Jati Barang. Biaya operasional sistem sanitary landfill membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Dan jika alokasi dana dari pemerintah pusat serta daerah masih kurang memadai serta penerimaan retribusi dari pengelolaan sampah juga terbatas, maka tak mengherankan jika di sana sini masih terdapat ketidakseimbangan antara biaya operasional dan pemasukan.

14058445821775297713
14058445821775297713

Jumlah penduduk kota Semarang tahun 2010 sebanyak 1.533.868  jiwa. Dari jumlah total penduduk tersebut jumlah timbunan sampah sebanyak 1000 ton/hari, dengan jumlah sampah terangkut 700 ton/hari. Dengan tingkat pelayanan 70%. Melihat data seperti ini berarti ada sekitar 300 ton sampah per harinya yang belum terangkut sampai ke TPA Jati Barang. Sebenarnya ada suatu gagasan menyulap sampah menjadi listrik. Sebagai mana di luar negeri istilah itu dikenal dengan WTE atau waste to energy. Sampah yang masuk ke dalam kategori combustible kita bakar dan uap panas yang dihasilkan dapat digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dikopel dengan generator sehingga menghasilkan energi listrik.

14058447442130913845
14058447442130913845

Namun untuk mewujudkan gagasan WTE di Indonesia merupakan suatu kebijakan yang masih membutuhkan adanya sistem pengelolaan yang terpadu. Misal dengan menggabungkan TPA-TPA menjadi TPA Regional dan ditandatangani dalam satu MoU yang saling menguntungkan serta biaya operasional yang optimal. Di samping itu perlu juga memperhatikan jumlah timbunan sampah yang ada setiap harinya jangan sampai sampah sebagai bahan bakar dari WTE malah jumlahnya semakin berkurang dan ini tentu berdampak terhadap produksi listrik yang dihasilkan dengan menggunakan sistem WTE.

Dan agar lebih optimal dalam menerapkan sistem WTE maka sampah perlu kita kelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu :


  1. Sampah bakar
  2. Sampah tidak bakar
  3. Sampah daur ulang
  4. Sampah ukuran besar

Dengan pengelompokan seperti ini maka hanya sampah yang tergolong sampah bakar saja yang dapat kita masukkan ke dalam bunker atau incinerator untuk kemudian dibakar guna menghasilkan uap yang dapat memutar turbin uap.

14058450311326443893
14058450311326443893

Namun untuk mewujudkan gagasan ini tentu kita perlu mempertimbangkan biaya investasi dari sistem WTE ini. Jangan sampai ketika proyek dilaksanakan malah menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan harga jual listrik malah tidak ekonomis.

Referensi :


  1. Referensi 1
  2. Referensi 2
  3. Referensi 3



Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun